Menguak Kisah Tugu Batu Sawangan
Oktober hingga November 1945 menjadi masa tak terlupakan bagi warga Kota Depok. Di masa itu terjadi satu peristiwa kelam. Akan tetapi, hal itu menandai perjuangan sengit melawan agresi penjajah yang ingin kembali.
Sebagian orang yang di masa penjajahan Belanda dan di awal masa revolusi menetap di kawasan yang kini disebut Kecamatan Pancoran Mas, Kota Depok, pernah mendapat sebutan khusus terkait asal-usul mereka.
Sebutan tersebut adalah ”orang Depok” atau ”Belanda Depok”. Pendahulu mereka, yang dulu dikategorikan sebagai budak oleh penjajah, dibeli seorang tuan tanah asal Belanda, Cornelis Chastelein, untuk menggarap tanah. Orang-orang ini berasal dari Sulawesi, Kalimantan, Bali, dan Maluku.
Baca juga: Luka Sejarah di Antara Anak Bangsa
Di Depok, Chastelein memperlakukan mereka dengan baik dan bahkan mewariskan tanahnya kepada para pembantunya itu.
Saat kemerdekaan Republik Indonesia diproklamasikan pada tahun 1945, semangat bebas dari penjajahan menjalar ke semua pelosok Nusantara. Di tengah ingar bingar revolusi kemerdekaan, terjadi peristiwa yang memilukan. Kala itu, orang Depok dirampok, dijarah hartanya, dan sebagian dibunuh.
Dalam buku berjudul Gedoran Depok yang terbit pada 2011, pemerhati sejarah Wenri Wanhar bercerita, gerombolan pemuda berpakaian hitam membuat gaduh pada Kamis pagi, 11 Oktober 1945.
”Pagi itu, sekonyong-konyong ada yang menggedor. Orang-orang itu membawa golok dan masuk ke dalam rumah,” kata Yoty Jonathans, saksi hidup, dalam wawancara yang dimuat di Gedoran Depok.
Orang Depok di perkampungan ahli waris Chastelein, lanjut Yoty, lari tunggang-langgang menyelamatkan diri. Ada yang ke kebun, ke hutan, atau ke sawah. Pokoknya lari menjauhi para penyerbu.
Pagi berikutnya, orang-orang kembali ke rumah dan mendapati harta benda mereka telah dijarah. Tidak lama setelah orang Depok pulang, para penyerbu kembali ke perkampungan Pancoran Mas. Mereka menawan orang-orang itu setelah memisah mereka dalam dua kelompok.
Baca juga: Penanda Jejak Panjang Eksistensi Depok
Kelompok pertama terdiri dari perempuan dan anak-anak. Mereka dibawa ke Gemeentebestuur atau kantor pemerintahan kota praja Depok. Kelompok kedua, para lelaki, dibawa ke Paledang, Bogor.
Orang-orang menyebut peristiwa itu Gedoran Depok. Gedoran berarti dentuman yang keras. Namun, istilah itu bisa diartikan pula hasil perampokan.
Selain semangat antikolonialisme, ketimpangan yang terjadi kala itu membuat warga Depok cemburu dengan kehidupan ”orang-orang Depok”.
Antikolonialisme
Kepada Kompas, Kamis (14/3/2019), Wenri menjelaskan, Gedoran Depok terjadi karena dua faktor, yakni semangat antikolonialisme dan kecemburuan sosial. Kala itu, Depok dikenal sebagai wilayah yang kental dengan kolonialisme.
”Selain semangat antikolonialisme, ketimpangan yang terjadi kala itu membuat warga Depok cemburu dengan kehidupan ’orang-orang Depok’. Hal itu pula yang melatarbelakangi olok-olok ’Belanda Depok’ bagi orang-orang Depok tersebut,” ucap Wenri.
Dalam sebuah laporan berjudul Depok Report yang dibuat oleh tentara Netherlands-Indies Civil Administration (NICA), serangan 11 Oktober 1945 disebut terorganisasi.
Semangat antikolonialisme memang memuncak pada masa menjelang kemerdekaan hingga pascaproklamasi. Pada saat itu, di negeri yang baru lepas dari penjajahan, kondisi morat-marit dan kemiskinan melekati sebagian besar rakyat. Segala sesuatu yang berbau kolonial atau terkait dengan penjajah, juga ketimpangan kesejahteraan, memicu luka mendalam, memicu sentimen publik.
Hal ini yang dialami oleh warga Depok pada umumnya terhadap orang Depok. Setelah kematian Chastelein, orang-orang Depok yang dulu dibeli menjadi budaknya dimerdekakan. Orang-orang ini diberi warisan berupa tanah satu per satu secara rata. Orang Depok pun hidup sejahtera.
Sementara itu, warga Depok lainnya hidup miskin dan susah. Kecemburuan yang telah mereka tahan bertahun-tahun kemudian membutakan mata hati sebagian orang.
Perjuangan
Seusai proklamasi kemerdekaan RI dan Jepang menyerah kepada Sekutu, muncul ketidakpastian pada negara bekas jajahan beberapa negara Eropa. Belanda yang masuk dalam kelompok Sekutu, misalnya, seakan mendapatkan haknya lagi atas Indonesia. Setidaknya hingga tahun 1948, Belanda beberapa kali berupaya menancapkan kukunya di Nusantara.
Tentara NICA hadir di Indonesia dengan membonceng kelompoknya, Sekutu. Aksi mereka di Tanah Air, salah satunya, membebaskan orang Depok yang ditawan. Para laki-laki dibawa ke ”Kota Paris”, Bogor, kemudian dipindah ke pengungsian di Kedunghalang.
Dalam bagian lain di buku Gedoran Depok, saksi mata Jeanette Tholense, menyebutkan, para perempuan dan anak-anak juga dibebaskan oleh pasukan NICA dan tentara Gurkha yang merupakan bagian dari tentara Sekutu. Tentara Gurkha yang dimaksud adalah bagian dari pasukan khusus di tentara Sekutu. Mereka berasal dari Nepal, dikenal unggul dan lincah di medan pertempuran. Berkat keunggulannya itu, mereka direkrut oleh Inggris, bagian dari Sekutu.
Warga Sawangan Baru, Ri’an (87), sempat menyaksikan Gedoran Depok saat umurnya 13 tahun. Saat itu, pejuang rakyat berusaha memukul mundur pasukan militer Sekutu.
”Tentara Belanda dan tentara Gurkha itu kalah di tangan tentara rakyat. Setelah kalah dalam pertarungan itu, mereka langsung pergi dari Depok. Tanah-tanah yang awalnya dikuasai oleh Belanda mulai direbut oleh masyarakat,” ucap Ri’an.
Adapun peneliti sejarah militer Hendi Jo menyebutkan, tentara yang membebaskan orang Depok itu adalah tentara British Indian Army (BIA) yang juga diperkuat tentara dari berbagai kesatuan militer India dan sekitarnya, bagian dari tentara Inggris.
”Orang sering salah kaprah menganggap semua tentara yang tidak bertampang Eropa itu tentara Gurkha, padahal bukan,” kata Hendi.
Di pertigaan Jalan Raya Muchtar, Sawangan Baru, berbatasan dengan Pancoran Mas, jejak perlawanan Tentara Keamanan Rakyat (TKR) terhadap NICA, satu bulan setelah Gedoran Depok, diabadikan dalam Tugu Batu Sawangan.
Kini, masih ada keturunan orang Depok di Kota Depok. Keturunan-keturunan orang Depok ini tinggal tak lagi terpusat pada satu wilayah perkampungan tertentu. Mereka menyebar dan tinggal di tengah-tengah warga Depok lainnya. (KRISTI DWI UTAMI)