Pemerintah Mesti Siapkan Strategi Dorong Repatriasi
Oleh
Karina Isna Irawan
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah perlu menyiapkan strategi baru untuk mendorong repatriasi aset dan investasi. Kekayaan warga negara Indonesia di luar negeri, yang jika direpatriasi, akan menambah kapasitas pembiayaan dalam negeri untuk memenuhi kebutuhan dana pembangunan.
Ekonom Unika Atma Jaya Jakarta Agustinus Prasetyantoko kepada Kompas, Senin (18/3/2019), mengatakan, program pengampunan pajak terbukti gagal menjadi faktor penarik kekayaan warga negara Indonesia (WNI) di luar negeri. Hal itu tercermin dari realisasi repatriasi dalam pengampunan pajak yang hanya Rp 147 triliun dari target Rp 1.000 triliun.
“Tax amenesty jadi cermin bahwa pemerintah harus memikirkan upaya yang lebih progresif untuk menarik mereka (kekayaan WNI di luar negeri),” kata Prasetyantoko yang dihubungi Kompas di Jakarta, Senin.
Direktorat Jenderal Pajak (DJP) menyebutkan, kekayaan WNI yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 1.300 triliun. Informasi itu diperoleh dari implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis (automatic exchange of information/AEoI) sejak tahun 2018.
Temuan DJP masih jauh dari potensi. Lembaga kajian McKinsey, misalnya, melaporkan, harta WNI yang disimpan di luar negeri mencapai Rp 3.250 triliun. Adapun data yang dilansir Credit Suisse Global dan Alianz Global Wealth Report menyebutkan, nilainya mencapai Rp 11.125 triliun.
Menurut Prasetyantoko, pemerintah bisa mendorong repatriasi melalui insentif fiskal dan transformasi struktural. Di berbagai negara, seperti Amerika Serikat, insentif diberikan dalam bentuk penurunan pajak penghasilan (PPh) badan. Penurunan PPh badan akan menarik investasi dan aset masuk ke Indonesia bukan hanya milik WNI, tetapi juga investor asing.
Tarif PPh badan di Indonesia tercatat lebih tinggi dibandingkan mayoritas negara-negara Asia Tenggara. Misalnya, PPh badan di Malaysia 24 persen, Vietnam 20 persen, Thailand 20 persen, dan Singapura 17 persen.
“Yang paling progresif pakai instrumen pajak supaya mereka lebih tertarik memindahkan dan memutar asetnya untuk mendorong pertumbuhan ekonomi,” ujar Prasetyantoko.
Langkah lainnya, lanjut Prasetyantoko, melalui transformasi struktural, yang kini sedang digarap pemerintah. Namun, transformasi struktural butuh waktu sekitar 10 tahun karena mencakup perbaikan perizinan dan prosedur lintas institusi. Langkah ini paling tidak problematis sekaligus paling sulit dikerjakan karena tujuannya meningkatkan iklim investasi.
Butuh dana
Prasetyantoko mengatakan, Indonesia butuh dana besar untuk membangun infrastruktur dan sumber daya manusia sehingga repatriasi investasi dan aset penting. Oleh karena itu, jumlah wajib pajak harus terus ditingkatkan. Kapasitas pembiayaan dari sumber-sumber dalam negeri saat ini belum cukup memenuhi kebutuhan dana pembangunan.
Untuk pembangunan infrastruktur, misalnya, kebutuhan selama 2015-2019 meliputi investasi senilai Rp 6.541 triliun. Ini adalah kebutuhan dana sebagai prasyarat agar Indonesia mampu naik kelas dari negara berpendapatan menengah-bawah ke negara berpendapatan menengah-atas.
“Penerimaan pajak seharusnya mencerminkan aktivitas ekonomi. Sekarang muncul tendensi bahwa pajak tidak merefleksikan aktivitas ekonomi,” kata Prasetyantoko.
Penerimaan pajak seharusnya mencerminkan aktivitas ekonomi. Sekarang muncul tendensi bahwa pajak tidak merefleksikan aktivitas ekonomi.
Dihubungi terpisah, Dekan Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia Ari Kuncoro berpendapat, Indonesia bisa mencontoh Singapura dan China yang lebih mengutamakan peningkatan jumlah wajib pajak bukan persentase setoran pajak. Keinginan penduduk untuk membayar pajak mesti ditumbuhkan terlebih dahulu.
“Otoritas bisa memberi diskon pajak dan fasilitas kemudahan yang berkaitan langsung dengan individu wajib pajak,” kata Ari.
Menganggapi harta WNI di luar negeri, Menteri Keuangan Sri Mulyani Indrawati mengatakan, data itu diperoleh dari implementasi pertukaran informasi keuangan secara otomatis sejak tahun 2018 dan berlanjut tahun ini. Indonesia bekerjasama dengan sejumlah negara untuk meneliti dan melakukan pertukaran data-data keuangan.
DJP, misalnya, sudah mengirim data atau informasi keuangan ke 54 negara dan menerima data atau informasi keuangan dari 66 negara pada 2018. Sedangkan, tahun ini DJP akan mengirim data ke 81 negara dan menerima dari 94 negara. Dari pertukaran data dan informasi itu terungkap kekayaan WNI di luar negeri mencapai Rp 1.300 triliun.
“Kami sedang meneliti data-data dan informasi tersebut. Kami akan melakukan penelitian lebih dalam mengenai kualitas dari datanya dan akan dicocokan dengan data yang ada di Direktorat Jenderal Pajak dan Direktorat Jenderal Bea dan Cukai,” kata Sri Mulyani.
Sri Mulyani menambahkan, pertukaran data atau informasi keuangan melalui AEoI sah karena diatur dalam Undang-undang Nomor 9 Tahun 2017 tentang akses informasi keuangan untuk kepentingan perpajakan menjadi Undang-undang. Selain diatur UU, pelaksanaan AEoI juga terikat sejumlah kesepakatan internasional.