JAMBI, KOMPAS - Masifnya pencurian kayu dari kawasan hutan negara dipicu tingginya permintaan pasar. Ironisnya, sektor hilir yang menampung hasil kayu-kayu curian cenderung lepas dari pengawasan aparat penegak hukum.
“Kalau hilirnya dikendalikan, pembalakan liar pun akan berhenti dengan sendirinya,”
Kepala Bidang Perlindungan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi Taupiq Bukhari mengatakan semestinya ada upaya lebih kuat mengawasi sektor hilir hasil kayu. “Kalau hilirnya dikendalikan, pembalakan liar pun akan berhenti dengan sendirinya,” katanya, Senin (18/3/2019).
Lebih lanjut dijelaskan oleh Kepala Seksi Pengamanan Dinas Kehutanan Provinsi Jambi, Iman Purwanto, jika tanpa penindakan yang terpadu mulai dari hulu hingga hilir, sudah pasti akan sulit menghentikan pembalakan liar.
Kewenangan terbatas
Pihaknya hanya berwenang untuk menindak aktivitas distribusi kayu ilegal dari lokasi tebangan hingga menuju industri pengolahan atau tempat penampungan. Sedangkan, penindakan kayu-kayu yang telah masuk ke industri pengolahan atau bangsal kayu menjadi wewenang satuan kerja lain.
“Kalau mau (masalah pembalakan liar) tuntas, penindakan dilakukan menyeluruh aparat terpadu mulai dari lokasi tebangan sampai pada tempat penampungan kayu-kayu ilegalnya,” jelasnya. Meskipun diketahui banyak usaha pengolahan berizin, faktanya mereka menerima pula kayu-kayu ilegal tersebut.
Sebagaimana diketahui, pembalakan liar marak dalam kawasan hutan di perbatasan Jambi dan Sumatera Selatan.
Aliran kayu nyaris tanpa kontrol keluar melalui kanal-kanal perusahaan pemegang izin hak penguasaan hutan (HPH), jalan distribusi hasil tambang dan hasil tanaman industri, serta melewati sungai. Selanjutnya, kayu dengan leluasa dipasok para pelaku ke industri olahan kayu di sekitar lokasi pembalakan hingga ke luar daerah.
Terkait maraknya pembalakan liar di areal hutan HPH di Kabupaten Muaro Jambi, penyidik Polisi Hutan DIshut Provinsi Jambi, Yusup mengatakan sulit dikendalikan karena banyaknya pintu keluar serta jalur pengangkutan kayu.
Di dalam kawasan hutan itu, para pembalak tak hanya bebas membuka kanal. Mereka juga membuka jalur air yang lebih kecil, disebut parit cacing, untuk mengalirkan kayu. Untuk mengamankan kayu curiannya, para pembalak tak segan-segan memanfaatkan senapan angin tradisional (kecepek).