Perbankan dan Adaptasi Menghadapi Terjangan Revolusi Industri 4.0
Belum lepas dari ingatan. Satu dekade lalu mayoritas nasabah bank harus mengisi slip untuk menarik dana. Mereka mengantri di depan teller selama beberapa menit, bergantung panjang antrean, baru bisa mendapatkan uang tunai.
Berkat perkembangan teknologi digital, sekarang uang tunai dapat ditarik di anjungan tunai mandiri terdekat. Transfer dana cukup memakai aplikasi perbankan yang terpasang di gawai. Antrian panjang nasabah di bank pun mulai jarang terlihat.
Menteri Perencanaan Pembangunan Nasional Republik Indonesia (PPN)/Kepala Bappenas Bambang Brodjonegoro dalam diskusi Reimagining The Workforce in The Financial Services Industry in Digital Era di Jakarta, Rabu (13/3/2019), menegaskan, revolusi industri telah menjadi suatu keniscayaan.
“Perubahan suatu industri didorong berbagai hal, antara lain karena perubahan demografi masyarakat dan sosial-ekonomi serta perkembangan teknologi,” kata Bambang.
Menurut dia, perusahaan yang lebih cepat dan lebih baik dalam mengadopsi teknologi akan lebih bertahan. Sejak 2016, kapitalisasi pasar dunia dikuasai lima perusahaan teknologi dengan nilai diatas 500 triliun dollar AS.
Kelima perusahaan ini adalah Apple, Alphabet, Microsoft, Amazon, dan Facebook. Mereka ini menggeser perusahaan minyak dan bank yang sebelumnya menjadi penguasa terbesar, seperti Exxon, Petrochina, ICBC, dan Citibank.
Bahkan, mengutip CB Insight 2017, persaingan dengan perusahaan baru membuat usia rata-rata perusahaan S&P 500 turun dari 61 tahun menjadi 17 tahun. S&P 500 adalah indeks saham 500 perusahaan terbesar yang kebanyakan berasal dari Amerika Serikat.
Bambang menilai, Indonesia harus menghadapi dua tantangan di era revolusi industri 4.0, yaitu memperkokoh industri sekaligus mengadopsi teknologi. Kondisi ini sedikit berbeda dengan negara lain yang telah memiliki industri yang kokoh sehingga cukup mengadopsi teknologi saja.
“Pada sektor manufaktur, misalnya, Indonesia harus mengadopsi teknologi model hybrid untuk merevitalisasi sektor ini. Kita harus banyak belajar dari dunia internasional,” kata Bambang.
Indonesia harus menghadapi dua tantangan di era revolusi industri 4.0, yaitu memperkokoh industri sekaligus mengadopsi teknologi.
Bank merupakan satu dari berbagai perusahan tertua di Indonesia yang berinovasi mengikuti revolusi industri 4.0. Namun, inovasi bank turut diiringi kelahiran pemain baru di sektor keuangan, yaitu perusahaan-perusahaan teknologi finansial (tekfin).
Ketua Umum Ikatan Bankir Indonesia (IBI) Zulkifli Zaini mengatakan, perusahaan tekfin kini dapat menjaring pelanggan tanpa membutuhkan kehadiran kantor fisik. Produk dapat disalurkan cukup melalui aplikasi dalam waktu singkat.
Perusahaan tekfin yang menyalurkan pembiayaan menggunakan kecerdasan buatan (artificial intelligence) ketika melakukan penilaian kredit (credit scoring). Data diambil dari perusahaan yang pernah bertransaksi dengan pihak yang mengajukan kredit.
“Di Alibaba, misalnya, anak perusahaannya Alipay menggunakan data pelanggan Alibaba untuk menganalisis data pelanggan. Data akan menentukan kelayakan pelanggan, jumlah pemberian kredit, dan tingkat suku bunga” kata Zulkifli.
Baca juga: Kolaborasi Bank-Tekfin
Kepala Industri Jasa Keuangan kawasan Asia Tenggara SAP SE (perusahaan perangkat lunak asal Jerman), Hadi Wijaya menyampaikan, di sektor keuangan, inovasi perbankan sebenarnya tidak kalah dengan perusahaan tekfin yang ada.
Di Australia, misalnya, sebuah perusahaan bank digital bernama Xinja baru saja dirilis pada 2018. Calon nasabah dapat membuka rekening bank tanpa harus pergi ke kantor cabang terdekat.
Hadi mengingatkan, bank tidak boleh lengah berinovasi. Tuntutan untuk selalu inovatif kini tidak hanya muncul dari sisi persaingan bisnis, tetapi pemerintah dan konsumen.
Bank tidak boleh lengah berinovasi. Tuntutan untuk selalu inovatif kini tidak hanya muncul dari sisi persaingan bisnis, tetapi pemerintah dan konsumen.
Sebagai contoh, otoritas Singapura mengeluarkan pernyataan ada pembicaraan agar bank yang beroperasi di sana membuka data perusahaan pada Februari 2019. Pembukaan data tersebut untuk memudahkan nasabah membandingkan produk dan pelayanan antar-bank. Nasabah juga akan lebih gampang berpindah bank.
“Singapura kemungkinan akan mengimplementasi aturan ini pada tahun 2019. Di sini, posisi konsumen dalam berbisnis semakin kuat. Pusat fokus saat ini adalah apa yang konsumen inginkan,” kata Hadi.
Oleh karena itu, bank harus mampu mengoptimalkan penggunaan teknologi digital dan kapasitas pekerja. Optimalisasi dapat tercapai antara lain dengan mendesain ulang lanskap tenaga kerja. Misalnya, jenis pekerjaan apa saja yang dapat dilakukan manusia dan mesin serta kombinasi antara keduanya.
Zona nyaman
Deputi Komisioner Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Institute Sukarela Batunanggar menambahkan, bank-bank di Indonesia masih kekurangan cross functional skills. Artinya, dalam kemampuan sosial, interaksi antara karyawan dan pemangku kepentingan, dan orientasi pelayanan belum menjadi fokus.
“Perbankan masih berada di zona nyaman karena bisnis stabil sehingga masih menghasilkan uang. Ini harus diubah karena bank sekarang harus bersaing dengan perusahaan teknologi dan perusahaan rintisan,” kata Sukarela.
Dengan demikian, bank juga harus mulai memahami kebutuhan masyarakat dan memfasilitasi kebutuhan tersebut. Konsep berbisnis seperti ini telah diterapkan oleh perusahaan rintisan yang kini berkembang pesat.
Baca juga: Bank Merespons Disrupsi
Menurut Sukarela, untuk mendorong inovasi perbankan, bank-bank dapat bergabung untuk membuat semacam pusat inovasi (innovation hub). Segala eksperimen mengenai strategi dan produk yang dapat diterapkan bank dapat diuji coba di pusat inovasi ini.