”Tahu Panas”, Pengentas Warga Miskin
Warga miskin Surabaya mendapat bantuan untuk memperbaiki rumah agar lebih layak huni. Selain secara fisik lebih sehat, secara psikologis mereka menjadi lebih percaya diri dan lebih bahagia.
Tangan Saemo (35) segera menyingkirkan piring kosong seusai makan mi instan ke bawah meja. Pemilik rumah itu mempersilakan Kompas masuk ke rumahnya. ”Silakan duduk, maaf kalau sempit,” kata Saemo di rumahnya di Sukolilo, Surabaya, Jawa Timur, Jumat (8/3/2019).
Di rumah berukuran 3 meter x 4 meter itu, Saemo tinggal bersama istri dan dua anaknya. Ruangan seukuran kamar kos itu disesaki berbagai perabot rumah tangga, seperti meja, lemari, dan sepeda anaknya. Saking sempitnya, alat-alat masak diletakkan di gang luar rumah selebar 1 meter karena tak ada lagi ruang tersisa di rumah.
Tidak ada ruang tamu khusus. Semua aktivitas dilakukan di ruangan yang sama. Keluarga itu hanya punya dua ruangan di rumah, satu kamar tidur di loteng dan satu ruangan di lantai bawah untuk ruang keluarga merangkap ruang tamu, ruang makan, dan ruang untuk menempatkan barang-barang.
”Sekarang tidak ada kasur karena dipindah ke loteng. Dulu sebelum rumah ini diperbaiki, kami harus menggeser kasur dan barang lain jika ada tamu,” kata Saemo.
Istri Saemo, Fitriyah Ningsih (38), ingat betul ketika rumahnya belum diperbaiki. Rumah pemberian orangtuanya itu terasa sempit dan kurang nyaman ditinggali. Meskipun berdinding beton, sebagian masih ditambal dengan kayu. Atapnya bocor saat hujan sehingga dia harus memindahkan barang-barang agar tidak basah.
Untuk tidur harus berdesakan. Bahkan, anak pertamanya harus tidur di rumah orangtua yang berdampingan dengan rumah Fitriyah. Ukurannya pun sama seperti rumah yang ditinggali karena awalnya satu rumah dibagi dua.
Pasangan suami istri tersebut tidak punya cukup uang untuk memperbaiki rumah. Penghasilan Saemo sebagai buruh bangunan dan Fitriyah sebagai guru pendidikan anak usia dini (PAUD) hanya cukup untuk memenuhi kebutuhan hidup keluarga sehari-hari.
Beruntung, keluarga ini menjadi salah satu penerima program ”Tahu Panas” pada 2016. Keluarga itu mendapat bantuan senilai Rp 25 juta untuk perbaikan rumah. Bantuan tidak diberikan dalam bentuk uang tunai, tetapi bahan bangunan dan pekerja untuk memperbaiki atau membangun rumah selama dua pekan.
Saemo dan Fitriyah meminta rumahnya dibangun total. Selama dua pekan, mereka menyewa kamar untuk tinggal dan menaruh barang.
Perbaikan rumah dilakukan sesuai standar rumah sehat, tetapi tetap mengakomodasi permintaan pemilik rumah. Permintaan Saemo hanya satu, yakni atap dibuat cor agar loteng bisa digunakan untuk ruang tidur. ”Kalau tidak dibantu, mungkin rumah ini tidak senyaman sekarang,” kata Fitriyah.
Daerah kumuh
Tahu Panas adalah akronim dari Tak Takut Kehujanan, Tak Takut Kepanasan. Program ini merupakan kegiatan perbaikan rumah tidak layak huni (RTLH) melalui program rehabilitasi sosial daerah kumuh. Program yang masuk dalam Top 40 Inovasi Pelayanan Publik 2018 itu menjadi salah satu andalan Pemerintah Kota Surabaya untuk mengurangi kemiskinan sekaligus meningkatkan kualitas hidup warga.
Program ini menyasar keluarga miskin, terutama yang miskin struktural yang tidak mampu membangun rumah sehat. Perbaikan rumah diperlukan agar warga yang tinggal di rumah bisa nyaman, aman, dan sehat.
Penerima program Tahu Panas lain, Ratemi (63), amat bersyukur rumahnya mendapat bantuan rehabilitasi. Di usia yang tak lagi produktif, dia hidup mengandalkan bantuan dari anak-anaknya. Ia tak punya uang untuk memperbaiki rumah.
Lima tahun terakhir, rumahnya yang sebagian berdinding kayu selalu bocor saat hujan. Tahun lalu, Ratemi mendapatkan bantuan perbaikan rumah rusak. Program Tahu Panas menjadi kado terindah di usia senja Ratemi.
Kepala Dinas Sosial Kota Surabaya Supomo mengatakan, program Tahu Panas dimulai sejak 2003, tetapi perkembangannya semakin pesat delapan tahun terakhir.
”Masyarakat miskin berhak memiliki tempat tinggal yang aman dan nyaman,” kata Supomo. Anggaran setiap rumah berbeda-beda sesuai tingkat kerusakan, mulai dari Rp 5 juta hingga Rp 30 juta. Waktu pengerjaannya pun berbeda-beda sesuai anggaran yang diperoleh setiap rumah.
Untuk anggaran Rp 5 juta pengerjaan dilaksanakan enam hari, Rp 15 juta digarap 12 hari, dan untuk Rp 25 juta dikerjakan 16 hari. Sementara perbaikan dengan dana Rp 30 juta dilaksanakan 19 hari.
”Untuk pembuatan jamban sehat, setiap unit dianggarkan Rp 3 juta dengan pengerjaan empat hari,” ujar Supomo.
Rumah yang diperbaiki memiliki beberapa syarat, di antaranya masuk kriteria miskin, seperti luas lantai bangunan tempat tinggal kurang dari 8 meter persegi per orang; lantai dari tanah; dinding dari bambu, kayu, atau tembok tanpa plester; serta tidak memiliki fasilitas buang air besar.
”Status tanah harus jelas. Kalau tanah sengketa pasti tidak lolos. Aturan serupa berlaku bagi pemilik rumah yang belum punya jamban,” ucapnya.
Rumah yang dibangun harus memenuhi unsur rumah sehat, di antaranya dinding tembok diplester, lantai dari keramik, memiliki ventilasi udara, dan ada jamban. Hal-hal itu tidak bisa ditawar. ”Sanitasi dan sirkulasi udara yang baik harus dipenuhi dalam memenuhi standar kesehatan lebih optimal,” katanya.
Dalam mewujudkan masyarakat yang sehat dan sejahtera, Pemkot Surabaya mengajak swasta turut membantu program Tahu Panas. Yang sedang digarap Yayasan Dana Kemanusiaan Kompas, yang sumber dananya dari sumbangan pembaca harian Kompas, adalah membangun jamban sehat senilai Rp 1 miliar.
Wali Kota Surabaya Tri Rismaharini menuturkan, Tahu Panas merupakan upaya peningkatan permukiman dan sosial masyarakat di Kota Surabaya. Penanganannya dilakukan secara terpadu, baik dalam hal perbaikan fisik lingkungan, sosial, maupun ekonomi masyarakat di perkampungan.
Sampai saat ini paling tidak masih 11.000 rumah yang belum memiliki jamban sehat. Setiap tahun, rata-rata Pemkot Surabaya membangun 1.000 jamban di rumah warga menggunakan APBD.
Dengan Tahu Panas, kualitas hidup warga miskin yang awalnya memiliki rumah kumuh akan lebih baik. Selain fisik lebih sehat, penghuni rumah menjadi lebih percaya diri.