Neraca perdagangan Indonesia pada Februari 2019 memang surplus. Namun ada dua catatan terhadap surplus itu. Pertama, surplus terjadi karena impor turun, bukan lantaran kenaikan ekspor. Kedua, surplus tipis itu belum mampu mengkompensasi defisit pada Januari 2019, sehingga neraca perdagangan Januari-Februari 2019 masih defisit.
Keduanya, ekspor dan impor saling terkait erat. Penurunan ekspor terjadi karena permintaan global melemah, efek perang dagang, dan hambatan perdagangan sejumlah negara. Penurunan ekspor itu berimbas pada pelambatan kinerja industri, terutama yang berbasis ekspor.
Badan Pusat Statistik mencatat, neraca perdagangan pada Februari 2019 surplus sebesar 329,5 juta dollar Amerika Serikat (AS) atau Rp 4,715 triliun. Nilai ekspor dan impor pada bulan itu masing-masing sebesar 12,53 miliar dollar AS dan 12,2 miliar dollar AS.
Total nilai ekspor pada Februari 2019 turun 10,03 persen dibanding Januari 2019 dan turun 11,33 persen dibandingkan Februari 2018. Impor pada Februari 2019 juga merosot sebesar 18,61 persen dibanding Januari 2019 dan 13,98 persen dibanding Februari 2018. Adapun neraca perdagangan secara akumulatif, Januari-Februari 2019 defisit sebesar 0,73 miliar dollar AS.
Efek perang dagang AS-China yang tak kunjung usai mulai berpengaruh terhadap ekspor nasional. Ekspor Indonesia ke AS pada Februari 2019 turun 15,79 persen dibanding Januari 2019. Produk ekspor yang paling besar penurunannya adalah lemak dan minyak nabati dan hewani, karet, tekstil, serta alat mesin.
Begitu juga ekspor Indonesia ke China, turun sebesar 11,07 persen dibanding bulan sebelumnya. Komoditas ekspor yang merosot terutama bahan bakar mineral, lemak dan minyak nabati dan hewani, bahan kimia organik, serta alas kaki.
Ekspor komoditas utama Indonesia, terutama minyak kelapa sawit mentah (CPO) dan produk turunannya, juga makin terhimpit kebijakan India dan Uni Eropa (UE). India menaikkan bea masuk CPO dan produk turunan Indonesia dua kali lipat dari tarif awal. Secara tahunan, angka ekspornya menurun 23,49 persen dan bulanan 13,22 persen.
Sementara UE makin tegas mengukuhkan kebijakan energi terbarukan. Melalui Arahan Energi Terbarukan (RED) II, UE mengeluarkan sawit dari daftar sumber energi terbarukan. Secara umum, nilai ekspor Indonesia ke negara-negara UE pada Januari-Februari 2019 turun 9,63 persen. Pada periode sama, khusus ekspor CPO yang masuk golongan lemak dan minyak hewani/nabati turun 15,06 persen.
Upaya berkelanjutan
Sejumlah kalangan menilai kondisi neraca perdagangan itu menunjukkan kalau Indonesia terhimpit gejolak ekonomi global dan stagnasi industri domestik. Jika pelambatan terus berlanjut, kemampuan Indonesia membayar utang luar negeri akan terpengaruh.
Bank Indonesia menunjukkan, rasio pembayaran DSR Tier-1 pada 2018 sebesar 24,08 persen atau menurun dibanding 2017 yang sebesar 25,54 persen. DSR ini sedikit di bawah batas aman Debt Services Framework Dana Moneter Internasional dan Bank Dunia yang sebesar 25 persen.
Indonesia terhimpit gejolak ekonomi global dan stagnasi industri domestik. Jika pelambatan terus berlanjut, kemampuan Indonesia membayar utang luar negeri akan terpengaruh.
Pemerintah tentu tidak tinggal diam, kendati tertatih-tatih membalikkan keadaan neraca perdagangan. Berbagai kementerian terkait telah berupaya memperbaiki kinerja neraca perdagangan melalui pengendalian impor, insentif perpajakan bagi industri berbasis ekspor, dan memanfaatkan e-dagang.
Kementerian Perdagangan sendiri pada tahun ini menargetkan ekspor nonmigas tumbuh 7,5 persen atau 175 miliar dollar AS. Hal itu mengingat target ekspor nonmigas pada tahun lalu yang sebesar 11 persen, hanya terealisasi 162,8 miliar dollar AS atau 6,7 persen saja.
Strategi peningkatan ekspor itu kurang lebih masih sama, antara lain membuka pasar baru dan menuntaskan perjanjian-perjanjian perdagangan. Pendekatan bilataral dengan negara dan kawasan penghambat, seperti India dan UE, juga makin intensif.
Salah satu hasilnya, India akan menurunkan bea masuk produk turunan CPO asal Indonesia, dari 50 persen menjadi 45 persen atau sama dengan bea masuk produk CPO Malaysia. Sebaliknya, India meminta Indonesia menurunkan bea masuk gula mentah, yakni dari 10 persen menjadi 5 persen.
Akankah Indonesia akan mengimpor gula mentah dari India? Sebagai subtitusi dan meningkatkan posisi tawar Indonesia terhadap gula mentah Australia dan Thailand yang bea masuknya selama ini sebesar 5 persen, bukan suatu soal.
Meski tertatih-tatih membalikkan keadaan neraca perdagangan, langkah-langkah itu tetap perlu terus dilakukan di tengah keriuhan tahun politik.