Tren Meningkat, Kesiapsiagaan Masyarakat Perlu Dibangun
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Meningkatnya tren bencana hidrometeorologi akibat deforestasi menuntut masyarakat untuk meningkatkan kesiapsiagaan dalan menghadapi bencana. Kesadaran masyarakat terhadap risiko perlu dibangun agar dampak bencana bisa ditekan.
Peneliti senior Pusat Penelitian Kependudukan Lembaga Ilmu Pengetahuan Indonesia (LIPI), Deny Hidayati, di Jakarta, Senin (18/3/2019), mengatakan, deforestasi telah meningkatkan intensitas bencana hidrometeorologi. Oleh sebab itu, kesiapsiagaan masyarakat menjadi penting dalam mengurangi dampak bencana.
"Kita berharap masyarakat meningkatkan kesiapsiagaan. Mitigasi perlu dilakukan karena bagaimanapun tren bencana hidrometeorologi akan semakin tinggi. Kita tidak bisa hanya bergantung kepada pemerintah," kata Deny di sela-sela seminar rancangan model Resiliensi Penduduk Menghadapi Perubahan Lingkungan dan Bencana di Gedung LIPI, Jakarta.
Menurut Deny, ketidaksadaran terhadap risiko bencana telah membuat sebagian besar masyarakat cepat lupa dan bergantung kepada pemerintah. Masyarakat kurang peduli dan tidak banyak berbuat karena menganggap bencana seakan-akan hanya kehendak Tuhan. Akibatnya, dampak buruk bencana tidak bisa ditekan.
Terkait kesadaran terhadap risiko bencana, lanjut Deny, masyarakat luas bisa belajar kepada masyarakat di Desa Seponjen dan Desa Mekarsari, Kecamatan Kumpeh, Kabupaten Muaro Jambi, Jambi. Banjir yang berlangsung bertahun-tahun telah membangun kesadaran masyarakat, termasuk transmigran, terhadap risiko bencana sehingga memiliki kesiapsiagaan.
"Risk culture sudah terbentuk masyarakat Jambi. Mereka sadar risiko sehingga mempunyai kesiapsiagaan. Mereka tidak membutuhkan bantuan pemerintah ketika banjir, kecuali banjirnya sangat masif," ujar Deny.
Ali Yansyah, peneliti LIPI, mengatakan, deforestasi sejak 1990-an telah meningkatkan frekuensi bencana hingga delapan kali lipat di Provinsi Jambi. Banjir dan kebakaran hutan dan lahan menjadi bencana dengan frekuensi tertinggi.
Pengungsian mandiri
Ali melanjutkan, dalam menghadapi banjir, masyarakat di kedua desa itu telah memiliki kesiapsiagaan. Mereka secara mandiri membuat "amben" atau tempat pengungsian di dalam rumah sebagai tempat masak, makan, tidur, dokumen penting, dan barang berharga. Mereka menyiapkan perahu untuk ke kebun, sekolah, belanja, dan sebagainya dan memindahkan kendaraan, umumnya sepeda motor, ke tempat yang lebih tinggi.
Masyarakat juga memiliki keterampilan berenang dan mendayung. Para transmigran pun belajar kepada masyarakat kampung keterampilan tersebut.
"Dalam memenuhi kebutuhan pangan, masyarakat memiliki kemandirian. Mereka dapat menyiapkan bahan makanan pokok sendiri, misalnya dengan memanen padi sebelum banjir," kata Ali.
Sementara itu, dalam adaptasi dan mitigasi terhadap banjir, masyarakat membuat rumah panggung dari kayu dan papan yang aman dari banjir. Mereka juga membuat/membeli perahu untuk menyesuaikan diri dengan lingkungan banjir.
Meskipun demikian, masyarakat di Desa Seponjen dan Desa Mekarsari belum siap menghadapi bencana asap akibat kebakaran hutan dan lahan yang sangat masif. Masyarakat hanya bisa mengendalikan asap yang mereka hasilkan dari pembukaan lahan secara tradisional.
Menurut Ali, kondisi itu dipicu pula oleh memudarnya gotong royong komunitas karena hilangnya rasa memiliki (sense of belonging) dan rasa tanggung jawab masyarakat terhadap hutan. Akses masyarakat terhadap hutan menurun akibat beralihnya hutan ke perusahaan-perusahaan sawit dan hutan tanaman industri. (YOLA SASTRA)