Dua Perspektif, Dua Apresiasi
Debat calon wakil presiden pada Minggu (17/3/2019) lalu dinilai banyak kalangan membuka perspektif baru atas visi misi para kandidat yang selama ini penampilannya cenderung ”minim” di dua debat terdahulu.
Dinamika debat yang dipertunjukkan para calon wakil presiden memberikan lebih banyak hal konstruktif yang dibutuhkan pemirsa: pertarungan perspektif-gagasan yang orisinil, akurasi data, gestur yang elegan, dan kesantunan yang wajar.
Tiada ketegangan dan kekhawatiran yang menjalar hingga ke pemirsa televisi maupun penonton di Hotel Sultan malam itu. Baik Ma’ruf Amin maupun Sandiaga Uno tampaknya berhasil menjaga hasrat menggebu dari masing-masing simpatisan untuk saling menyerang kandidat lawan. Alhasil, debat ketiga berjalan mulus dan konstruktif, mengangkat gagasan dari masing-masing kandidat secara gamblang.
Pelaksanaan boleh mulus, namun dari segi perspektif tampak jelas perbedaan cara pandang dua kandidat. Dalam menyelesaikan persoalan bangsa yang terangkum di tema pendidikan, kesehatan, ketenagakerjaan dan sosial budaya, masing-masing kandidat tetap berada di jalur cara pandang calon presiden masing-masing.
Ma’ruf Amin, menggunakan perspektif capaian kinerja yang saat ini sudah diraih pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. Penekanan berulang-ulang Ma’ruf Amin pada kartu kuliah, kartu sembako, dan kartu pra kerja misalnya, menunjukkan pandangan dengan kecenderungan aras “pertumbuhan dan pembangunan” pada program yang telah dilaksanakan oleh pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla.
Seperti diketahui, bantuan sosial melalui Kartu Indonesia Pintar (KIP) saat ini masih menjangkau dari SD hingga tingkat SMU saja. Tercatat sejak tahun 2015 hingga Agustus 2018, pemerintah telah membagikan dana sebesar Rp35,7 triliun untuk 27,9 juta siswa penerima Kartu Indonesia Pintar (KIP) di seluruh tanah air.
Demikian pula program Kartu Keluarga Sejahtera yang dikembangkan dengan tambahan fitur membeli sembako dengan harga murah alias kartu sembako. Yang tidak terungkap dalam debat cawapres adalah bahwa demikian banyak jenis subsidi yang ditujukan ke masyarakat.
Sebut saja, ada Program Keluarga Harapan, Bantuan pangan non tunai (BPNT), Program Indonesia Pintar (PIP), Program Indonesia Sehat (PIS), dan Subsidi Energi (Listrik, BBM, LPG). Besarnya skala program sosial pemerintah ini terlihat dari jumlah 26 juta keluarga penerima manfaat bantuan Program Keluarga Harapan sejak 2015 hingga 2018.
Tak hanya itu, cakupan peserta program BPJS yang mencapai lebih 212 juta jiwa, dengan 96,8 juta jiwa dibantu iurannya melalui subsidi pemerintah, ditengarai merupakan keanggotaan lembaga asuransi kesehatan terbesar di dunia.
Namun demikian, angka-angka raksasa yang mencerminkan sifat karitatif dan benevolent (baik hati) dari negara itu toh tak sedemikian mudah dipertahankan di depan perspektif kritis yang diusung Sandiaga Uno.
Menggunakan metode pendekatan kasus, Uno mengeskalasi kesulitan yang dialami individu sebagai gambaran kesulitan kelompok atas program-program raksasa pemerintah tersebut. Contohnya, saat Sandiaga Uno mengangkat sosok bu Lis, seorang ibu asal Sragen yang mengadu karena ada komponen biaya pengobatan yang tidak ditalangi oleh program BPJS. Demikian juga saat membahas isu ketenagakerjaan, Sandiaga menyatakan bertemu dengan orang yang ingin kursus desain grafis dan bahasa Inggris namun terkendala biaya.
Dengan dua model pendekatan yang berbeda tersebut, tak heran masing-masing kubu simpatisan tetap berada pada ranah simpatinya ke masing-masing kandidat. Dalam jajak pendapat yang diadakan harian ini jelang pelaksanaan debat, terekam pemilahan responden berdasarkan afiliasi pilihan capres-cawapres.
Pengaruh Sosok Presiden
Bercermin dari hasil survei nasional yang diadakan Litbang Kompas pada 25 Sept-5 Okt 2018 lalu, terlihat betapa pengaruh sosok calon presiden mendominasi segi elektabilitas pasangan calon. Secara umum 67,9 persen pilihan dalam pemilu presiden dipengaruhi oleh sosok calon presiden dan hanya 6,0 persen yang pengaruh dari wakil presiden.
Ketimpangan angka tersebut tak terlalu aneh jika melihat balik kisah pemilihan wakil presiden baik dari kubu Jokowi maupun Prabowo Subianto, yang sama-sama “membeli waktu” (buying time), hingga mepet jelang penutupan pendaftaran calon di Komisi Pemilihan Umum.
Nama Ma’ruf Amin bahkan baru diumumkan secara terbuka beberapa jam sebelum penutupan pendaftaran, Kamis (9/8/2018) petang. Patut diingat bahwa saat pengumuman itu sebagian publik terhenyak karena kabar santer yang beredar sebelumnya calon wapres Jokowi adalah mantan Ketua MK, Mahfud MD.
Kondisi “anomali” terjadi pula pada penunjukan Sandiaga Uno sebagai cawapres Prabowo Subianto pada tanggal yang sama. Sebelumnya, sejumlah nama kandidat cawapres beredar luas, termasuk nama Agus Harimurti Yudhoyono, Komandan Kogasma Partai Demokrat.
Melalui “drama” pemilihan wakil presiden yang seperti demikian sudah pasti opini publik sejak awal tidak tertuju penuh kepada sosok wakil presiden. Alih-alih, sosok wakil presiden dituding merupakan “bemper” semata dari serangan politik yang diperkirakan akan muncul saat masa kampanye pilpres.
Jajak pendapat reguler Litbang Kompas 13-14 Maret 2019 menunjukkan banyak harapan diletakkan publik terhadap cawapres. Cawapres diharapkan tidak sekedar menjadi ban serep namun juga menjadi mitra calon presiden yang andal-jika terpilih. Sehingga, dia harus memiliki pemahaman yang jelas akan setiap persoalan bangsa dan negara serta mampu menawarkan solusi konkrit dan sesuai arah pembangunan. (Kompas, 16/3/2019)
Tentu saja, bisa saja harapan itu adalah sekadar sikap normatif publik ketika ditanya tentang opininya atas peran wakil presiden. Namun melihat kondisi politik di era “post truth” saat ini, termasuk kuatnya penggunaan isu primordial paling sensitif yaitu agama dan suku, maka kehadiran sosok simbolik, sosok berpengaruh yang mampu “membendung” eskalasi sentimen SARA, memang mutlak diperlukan.
Siapa Unggul
Melihat hasil debat sesi 3 calon wakil presiden, tampak jelas bahwa ada harapan lebih besar yang diletakkan di pundak wakil presiden terpilih, siapapun dia. Kekuatan pemahaman, keteguhan sikap, dan niat mengabdi rakyat secara tulus menjadi hal penting selain sekadar meributkan soal menjadi “bumper” presiden.
Membandingkan opini atas keistimewaan cawapres yang dinyatakan responden di survei Litbang Kompas Oktober 2018 (grafik), terlihat bahwa semula responden hanya memandang kelebihan Ma’ruf Amin pada sisi keagamaan dan ulama semata. Sebaliknya, Sandiaga Uno kuat dalam berbagai aspek profesionalitas namun kurang dari sisi keagamaan.
Hasil debat merubah persepsi publik. Penampilan Sandiaga yang menekankan pada soal-soal kemanusiaan di tingkat individu dan fasih melantunkan istilah-istilah bahasa Arab, melunturkan skeptisisme atas sosok konglomerat muda ini. Sandiaga tak hanya terlihat cerdas dan efisien, namun juga tak kehilangan pijakan kultur budaya.
Senada dengan itu, pemahaman komprehensif dan akurasi data dari seorang Ma’ruf Amin, membuat penonton terbuka mata, bahwa warna kenegarawanan dan ketrampilan teknokratis seorang Kiai besar memang luar biasa. Ketenangan dan keteguhan dalam membawakan pandangan pemerintah atas program-program yang dijalankan memberi keyakinan bahwa langkah bangsa ini tidak salah arah.
Mempertemukan antara teks dan konteks, antara yang disampaikan dalam debat dan persoalan di lapangan adalah tantangan bagi para kandidat. Meski memakai koridor cara pandang berbeda, namun sesungguhnya memiliki titik pertemuan tujuan yang sama yakni kesejahteraan bangsa. Tinggal kini terpulang kepada publik, cara pandang mana yang akan dipilih untuk menyelesaikan persoalan negeri ini.