Harga Penyerapan dari Bulog Dinilai Tak Relevan bagi Petani
Oleh
M Paschalia Judith J
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah menugaskan Perum Bulog untuk menyerap gabah dan beras dari dalam negeri dengan fleksibilitas harga sebesar 10 persen. Namun, petani menilai, fleksibilitas yang ditetapkan pemerintah tak relevan dengan kondisi saat ini.
Penugasan penyerapan Perum Bulog tersebut mengacu pada Instruksi Presiden (Inpres) Nomor 5 Tahun 2015 tentang Kebijakan Pengadaan Gabah/Beras dan Penyaluran Beras oleh Pemerintah. Pengadaan tersebut digunakan untuk cadangan beras pemerintah (CBP).
Dalam Inpres Nomor 5 Tahun 2015 itu, harga pembelian pemerintah (HPP) untuk gabah kering panen (GKP) di tingkat petani sebesar Rp 3.700 per kilogram (kg). Dengan fleksibilitas 10 persen, Bulog dapat melakukan penyerapan dengan harga hingga Rp 4.070 per kg.
Akan tetapi, Inpres Nomor 5 Tahun 2015 itu ditetapkan pada Maret 2015. ”Meski sudah diberikan fleksibilitas sebesar 10 persen, harganya tidak relevan bagi petani. Ada faktor inflasi sepanjang 2015-2019 yang sepertinya tidak dimasukkan dalam pembentukan HPP,” kata Ketua Kontak Tani Nelayan Andalan Winarno Tohir saat dihubungi, Selasa (19/3/2019).
Badan Pusat Statistik (BPS) mencatat, inflasi yang terjadi sepanjang 2015 sebesar 3,35 persen, sepanjang 2016 sebesar 3,02 persen, sepanjang 2017 sebesar 3,61 persen, dan sepanjang 2019 3,07 persen. Jika ditilik dari pergerakan nilai indeks harga konsumen (IHK), ada kenaikan 11,64 persen dari 118,48 poin pada Maret 2015 menjadi 132,58 poin pada Maret 2018.
Padahal, ketika Inpres Nomor 5 Tahun 2015 ditetapkan pada Maret 2015, harga GKP di tingkat petani telah mencapai Rp 4.499 per kg. Pada Maret 2018, harganya telah mencapai Rp 4.845 per kg dan turun menjadi Rp 4.556 per kg pada April 2019.
Berdasarkan data BPS pada Februari 2019, harga GKP di tingkat petani nasional telah mencapai Rp 5.114 per kg. Berdasarkan prediksi Asosiasi Bank Benih dan Teknologi Tani Indonesia (AB2TI), April mendatang menjadi puncak panen raya 2019 sehingga harga GKP di tingkat petani diperkirakan mencapai Rp 4.400-Rp 4.500 per kg.
Oleh sebab itu, Winarno berharap pemerintah dapat menyerap dengan harga di atas ongkos produksi yang telah memperhatikan untung bagi petani. ”Jika tidak, petani lebih tertarik menjual gabahnya ke penggilingan swasta, bukan ke Bulog,” ucapnya.
Sebelumnya, pemerintah menetapkan penyerapan GKP di tingkat petani dengan fleksibilitas HPP sebesar 10 persen melalui rapat koordinasi terbatas pangan di tingkat Kementerian Koordinator Perekonomian, Senin. Menteri Koordinator Perekonomian Darmin Nasution, Direktur Jenderal Perdagangan Dalam Negeri Kementerian Perdagangan Tjahya Widayanti, Kepala Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian Agung Hendriadi, Direktur Operasional dan Pelayanan Publik Perum Bulog Tri Wahyudi Saleh, serta Deputi Bidang Statistik Distribusi dan Jasa Badan Pusat Statistik Yunita Rusanti hadir dalam rapat tersebut.
Ditemui setelah rapat koordinasi, Agung berpendapat, Bulog dapat menyerap dengan skema komersial apabila harga gabah yang ditemui di atas ketentuan HPP yang telah disertai fleksibilitas. Dengan skema ini, Bulog dapat membeli gabah dalam negeri sesuai dengan harga yang terbentuk di pasar.
Sementara itu, Badan Ketahanan Pangan Kementerian Pertanian mencatat, realisasi serapan gabah dalam negeri sejak awal tahun hingga 13 Maret 2019 sebanyak 20.844 ton setara beras. Padahal, target serapan gabah pada Januari-Maret 2019 sebanyak 1,45 juta ton.
Sepanjang 2019, target serapan gabah dalam negeri sebesar 1,8 juta ton untuk CBP. Agung optimistis dapat mencapai target-target tersebut, salah satunya karena adanya fleksibilitas HPP yang ditetapkan. ”Sebelumnya, harga gabah masih tinggi sehingga Bulog sulit menyerap. Sekarang sudah ada fleksibilitas. Selain itu, sejumlah sentra, seperti di Jawa Tengah, Jawa Timur, Sumatera Selatan, dan Nusa Tenggara Barat, sudah mulai panen,” ujarnya.
Terkena banjir
Dalam rapat yang sama, Darmin juga menyoroti dampak cuaca dan iklim, termasuk bencana banjir, terhadap lahan sawah. Hingga saat ini terdapat sekitar 10.000 hektar lahan yang puso akibat banjir.
Meskipun demikian, Agung mengatakan, produksi beras nasional tidak terganggu karena jumlahnya tidak signifikan terhadap luas panen yang ada. Badan Ketahanan Pangan memperkirakan, jumlah luas panen hingga Maret 2019 mencapai 2,36 juta hektar.
Menurut Winarno, gabah dari sawah yang terendam banjir selama satu hingga dua hari mesti segera digiling karena kualitas daya tahannya menurun akibat jumlah kadar air tinggi. Daya tahan gabah dari sawah yang pernah terendam berkisar 1-2 bulan, sedangkan daya tahan gabah yang benar-benar kering dapat lebih dari 1-2 tahun.