LIVERPOOL, SENIN — Akhir musim lalu, manajer Maurizio Sarri didatangkan ke Inggris untuk menghadirkan perubahan di Chelsea sepeninggal kompatriotnya, Antonio Conte, yang divonis gagal. Realitasnya, harapan itu hanya seumur jagung. Chelsea justru mengalami kemunduran musim ini.
Kekalahan 0-2 dari Everton di Liga Inggris, Senin (18/3/2019) dini hari waktu Indonesia, menciutkan harapan ”The Blues” untuk finis keempat sekaligus merebut tiket Liga Champions. Mereka ibarat pecundang di jalanan. Dari lima laga tandang terakhirnya di Liga Inggris, mereka empat kali kalah.
Tak ayal, Chelsea sulit beranjak dari peringkat keenam. Ini adalah posisi terbuncit di jajaran ”Big Six” alias barisan enam klub elite di Liga Inggris. Bukan kebetulan The Blues menjadi tim Big Six pertama yang dipecundangi Everton dalam 26 bulan terakhir. Harapan dan puja-puji dari fans untuk Sarri pada awal musim ini pun mendadak berganti kebencian.
Pendukung garis keras The Blues menuntut pemilik klub, Roman Abramovich, memecat Sarri. Capaian Chelsea saat ini dianggap lebih buruk dari musim lalu, yaitu ketika masih diasuh Conte. Pada pekan yang sama musim lalu, yaitu ke-30, Chelsea ada di peringkat kelima. Pada musim itu, mereka setidaknya meraih satu trofi, yaitu Piala FA.
”Filosofinya (Sarri-ball) tidak bisa dipakai di Chelsea dengan skuad yang ada saat ini. Manajemen harus mengambil tindakan. Kita masih bisa menyelamatkan musim ini jika Sarri dipecat dan mengganti manajer pada jeda internasional ini. Steve Holland (mantan asisten manajer Chelsea) adalah orang yang tepat,” tulis Michael Medows, suporter Chelsea, dalam kolomnya di Talk Chelsea.
Fans dan pemilik Chelsea memang bak pinang dibelah dua. Mereka sama-sama pemburu kejayaan instan dan tidak kenal sabar. Barisan manajer berkelas dunia, seperti Conte, Jose Mourinho, Rafael Benitez, Carlo Ancelotti, dan Guus Hiddink, datang dan pergi. Karier mereka tidak pernah panjang di klub itu, bahkan seumur jagung, seperti dialami Roberto Di Matteo.
Pelatih yang juga dari Italia itu hanya bertahan delapan bulan di The Blues pada 2012. Padahal, ia mempersembahkan trofi paling bergengsi dalam sejarah klub itu, yaitu Liga Champions. Di Matteo adalah ”korban” terburuk dalam keganasan kebijakan manajerial di Chelsea. Hal serupa dialami Conte yang divonis gagal meskipun tidak pernah absen memberikan trofi di setiap musimnya bersama klub itu.
”Saya kaget saat banyak orang berkata Conte akan dipecat awal musim lalu. Padahal, ia baru sekali, dua kali, kalah dan meraih gelar juara semusim sebelumnya. Hal serupa kini dialami Sarri. Beruntung itu tidak saya alami di klub ini (Manchester City) karena pemilik klub masih percaya (saat gagal pada musim 2016-2017),” tutur Manajer Manchester City Pep Guardiola.
Total 12 kali pergantian manajer di Chelsea sejak dibeli Abramovich tahun 2013 silam. Ini hal kontras dibandingkan dengan klub Liga Inggris lainnya, seperti Arsenal, bahkan City. Arsenal, misalnya, hanya dua kali mengalami pergantian sejak 1996, adapun City baru enam kali sejak 2003. Pergantian konstan juru taktik ini mau tidak mau berimbas kepada pemain, yaitu mengakibatkan kebingungan.
Sarri mengakui, pemainnya masih kebingungan dengan gaya ”Sarri-ball”, yaitu permainan serangan cepat dan penguasaan bola, yang sukses dikembangkannya di bekas timnya, Napoli. Ini masuk akal sebab pola permainan itu sangat berbeda dengan gaya dua manajer terdahulu, Conte dan Jose Mourinho. Baik Conte dan Mourinho lebih pragmatis, adapun Sarri sangatlah idealis.
Bak kenaikan kelas
Seperti kenaikan kelas di sekolah, para pemain Chelsea dipaksa beradaptasi dengan lingkungan dan ”kitab” taktik baru hampir setiap tahunnya. Baru dua tahun khatam dengan gaya defensif dan serangan balik ala Conte, mereka diharuskan belajar sepak bola atraktif khas Sarri. Dalam olahraga, apalagi sepak bola, revolusi bukanlah keniscayaan untuk hasil lebih baik. Sebaliknya, yang lebih diperlukan adalah konsistensi dan kesinambungan.
Hal itu, misalnya, ditunjukkan klub Barcelona. Tidak peduli siapa pelatihnya, cara bermain ”Blaugrana” selalu sama, yaitu ofensif ala tiki-taka alias penguasaan bola tinggi lewat operan-operan pendek. Konsistensi itu bisa terjadi karena Barca memiliki filosofi dan kultur khasnya, yaitu ”Cruyffian”—gaya yang juga diadopsi klub Belanda, Ajax Amsterdam, berdasarkan kiprah Johan Cruyff.
Di Inggris, klub yang paling mendekati konsistensi itu adalah City. Mereka penganut aliran sepak bola ofensif. Pemiliknya, Sheikh Mansour bin Zayed al-Nahyan, punya cita-cita mereplikasi kejayaan Barca di Britania Raya. Tak heran, mereka bukan sekadar memboyong Pep Guardiola, eks pelatih Barca, tetapi juga eks jajaran direksi klub itu, seperti Txiki Begiristain, sejak 2012.
Publik pun kini tengah menanti apakah Sarri bakal menambah daftar panjang manajer korban pemecatan di Chelsea? Atau, sebaliknya, Chelsea mulai berubah dan memberi Sarri kesempatan kedua, setidaknya hingga akhir musim dan selesainya Liga Europa. Jika tidak, posisi manajer The Blues akan selalu menjadi ”kursi panas”.