Kesadaran akan hak-hak konsumen di masyarakat masih perlu ditingkatkan. Edukasi terhadap konsumen dan dorongan kepada produsen untuk memenuhi komitmennya harus selalu dijaga.
Oleh
MACHRADIN WAHYUDI RITONGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Kesadaran masyarakat terhadap hak-haknya sebagai konsumen perlu ditingkatkan. Edukasi terhadap konsumen dan dorongan kepada produsen untuk memenuhi komitmennya juga harus selalu dijaga untuk menjamin terpenuhinya kepentingan bersama.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita, di Bandung, Jawa Barat, menyatakan, konsumen di Indonesia belum banyak yang mengadu jika produk yang dibeli tidak sesuai dengan harapan. Karena itu, warga harus diberdayakan sehingga bisa mengetahui hak-hak konsumennya.
Menurut Enggar, ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu dari sisi produsen dan konsumen. Konsumen harus diedukasi dengan pemberdayaan hak-haknya. Sementara produsen dan penjual harus bertanggung jawab dengan produk yang dijual.
”Mereka harus berusaha memenuhi janji dan komitmennya, di antaranya kualitas barang yang dijual,” ujarnya saat ditemui di sela pembukaan Peringatan Hari Konsumen Nasional (Harkonas) ke-7 di Gedung Sate, Kota Bandung, Selasa (19/3/2019).
Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional (BPKN) Ardiansyah Parman menambahkan, kesadaran masyarakat kini perlahan mulai terbangun. Dia berujar, pengaduan yang masuk ke BPKN pada 2018 mencapai lebih dari 400 pengaduan. Jumlah itu empat kali lipat lebih besar daripada setahun sebelumnya.
”Untuk tahun ini, saya memprediksi sampai lebih dari 500 aduan yang masuk. Peningkatan ini bukan berarti pelayanan terhadap konsumen semakin buruk. Masyarakat masa kini mulai berani mengadu saat hak-haknya tidak dipenuhi,” ujarnya.
Ardiansyah memaparkan, dari lima tingkatan kesadaran konsumen, sebagian warga Indonesia menempati kelas ketiga. Kelas pertama dalam tingkatan tahu, kelas dua masuk tingkatan paham, dan di kelas tiga masyarakat sudah mampu memberikan laporan. Sebagian besar warga belum masuk ke kelas empat, yaitu kritis, dan kelas lima yaitu berdaya dalam memberikan suara dan timbal balik kepada produsen terkait produk yang dijual.
Saat ini, tutur Ardiansyah, Indeks Keberdayaan Konsumen di Indonesia berkisar 40 dari skor total 100. Karena itu, pemberdayaan konsumen perlu dilakukan.
”Kalau sudah mencapai kelas tiga, masyarakat sudah mengetahui hak-hak konsumen dan bersedia mengadu kepada instansi terkait. Namun, belum kritis, apalagi berdaya,” ujarnya.
Di Jabar, Balai Penyelesaian Sengkata Konsumen (BPSK) mencapai 17 lembaga pengadilan di 17 daerah. Gubernur Jabar Ridwan Kamil menyampaikan, lembaga-lembaga ini dibentuk dengan harapan agar hak-hak konsumen masyarakat bisa dipenuhi.
”Populasi Jabar terbesar di Indonesia, hampir 50 juta jiwa. Jadi, hak dari konsumen itu mempunyai perlindungan yang luar biasa. Mudah-mudahan ekonomi Indonesia akan luar biasa kalau konsumennya berdaya,” tuturnya.
Kamil menyebut warga Jabar mulai beralih tren dalam membeli barang, dari konvensional ke penjualan daring melalui media sosial dan perdagangan elektrik (e-commerce). Karena itu, jaminan perlindungan konsumen diperlukan karena tidak semua perusahaan bisa memberikan kualitas yang sesuai dengan yang ditawarkan.
”Kalau produsen besar, saya yakin akan kualitasnya, tetapi kalau masih berupa usaha mikro, kecil, dan menengah, perlu kami beri pendampingan agar menyadari hak-hak konsumen,” ujarnya.