”Kami melakukan kesalahan fatal: secara gegabah memotong sebuah kalimat,” demikian seorang pemimpin redaksi media daring menyampaikan permintaan maaf kepada publik melalui situsnya, Senin (18/3/2019) pagi. Permintaan maaf ini bukan terkait kesalahan pemberitaan, melainkan karena kesalahan konten meme politik yang mereka unggah ke media sosial pascadebat calon wakil presiden 2019.
Terdapat dua kesalahan mendasar dalam unggahan dua meme yang akhirnya menjadi pergunjingan warganet. Kesalahan pertama terletak pada pemotongan kalimat yang menghilangkan konteks awalnya dan kedua munculnya guyonan tidak sensitif yang mengusik salah satu ormas keagamaan besar di Tanah Air.
Dalam konteks pemberitaan, Pasal 10 Kode Etik Jurnalistik secara tegas mengatur, wartawan Indonesia (wajib) segera mencabut, meralat, dan memperbaiki berita yang keliru dan tidak akurat disertai dengan permintaan maaf kepada pembaca, pendengar, dan atau pemirsa. Namun, dalam kasus ini, meme yang diunggah bukan merupakan bagian dari sebuah berita.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo menyebutkan, terdapat perbedaan mendasar antara produk pers dan produk media sosial. Produk pers dihasilkan melalui tiga proses kerja jurnalistik, yaitu verifikasi, klarifikasi, dan konfirmasi, sedangkan produk-produk media sosial tidak melalui proses-proses tersebut.
”Media sosial bukan produk jurnalistik. Sengketa akibat tulisan atau berita di media diselesaikan di Dewan Pers, tetapi tuntutan akibat tulisan di media sosial diproses oleh kepolisian berdasarkan hukum pidana. Karena itulah, dalam konteks bermedia sosial, aturan perundang-undangan yang mengatur bukan lagi Undang-Undang Pers, melainkan Undang-Undang Informasi dan Transaksi Elektronik,” tuturnya.
Media sosial bukan produk jurnalistik. Sengketa akibat tulisan atau berita di media diselesaikan di Dewan Pers, tetapi tuntutan akibat tulisan di media sosial diproses kepolisian berdasarkan hukum pidana.
Yosep menambahkan, apabila isi media sosial yang diunggah merupakan bagian dari sebuah tautan berita, konten media sosial tersebut merupakan bagian dari produk jurnalistik. Karena itulah, Dewan Pers akan melakukan pengecekan secara detail bagaimana proses keluarnya dua meme kontroversial tersebut. Apabila keduanya diunggah tanpa melalui kebijakan redaksional, penanganan hukumnya menggunakan UU ITE.
Tanggungjawab redaksi?
Dalam kasus ini, pemimpin redaksi mengatakan, seluruh konten visual, baik itu infografik di dalam artikel maupun yang dibagikan di kanal media sosial, menjadi tanggung jawab redaksi. Kealpaan mereka merupakan pelajaran berharga untuk semakin memperketat lagi mekanisme gate-keeping atau penyaringan secara ketat bukan hanya di dalam artikel-artikel yang tayang, melainkan juga di kanal-kanal media sosial.
Mereka mengklaim, selama ini, konten media sosial, misalnya di Instagram, selalu melewati persetujuan redaksi. Sayangnya, kemarin mekanisme penyaringan secara ketat gagal dilakukan.
Tuntutan media untuk aktif bermedia sosial kini menjadi semacam pedang bermata dua. Di satu sisi, media sosial kini menjadi kultur baru pers untuk merangkul pembaca. Di sisi lain, begitu terjun ke media sosial, pers harus berhadapan dengan perundang-undangan baru, yaitu UU ITE.
Berdasarkan catatan Southeast Asia Freedom of Expression Network dari 2008 hingga 31 Oktober 2018, ada 381 korban (termasuk beberapa di antaranya jurnalis) yang dijerat UU ITE. Koordinator Bidang Advokasi Aliansi Jurnalis Independen Sasmito Madrim mengatakan, salah satu ancaman serius yang kini rawan menjerat jurnalis dan pers adalah keberadaan UU ITE.