Merajut Generasi Emas Anak Papua
Angelina Magal (10), siswi Kelas V Sekolah Asrama Taruna Papua, Kabupaten Mimika, masih teringat masa-masa awal bersekolah. Dulu, dia sering menangis karena jauh dari orangtua. Sedari kecil Angelina telah dibawa dari kampungnya di pedalaman Tsinga menuju Kota Timika untuk bersekolah dan tinggal di asrama.
Terkadang, Angelina rindu keluarganya. Namun, dia teringat pesan ayahnya yang mengharapkan Angelina giat belajar untuk menjadi dokter hewan.
Di asrama itu ada pula Yupinus Anggaibak (17), siswa kelas IX yang berasal dari Distrik Agimuga, daerah pedalaman di Mimika. Meski terlambat bersekolah, ia bertekad menyelesaikan pendidikannya demi meraih cita-cita menjadi mekanik.
Jupinus senang karena bisa sekolah dengan gratis serta mendapatkan fasilitas yang lengkap di sana. Namun, belajar di Taruna Papua diakuinya tak mudah. ”Kadang, yang membuat sedih itu peraturannya terlalu ketat. Macam harus bangun pagi, pukul 05.00,” kata Jupinus sambil tertawa.
Di daerah asal Yupinus dan Angelina, ketersediaan sekolah dasar dan sekolah menengah pertama sangat terbatas. Dari kampungnya, mereka harus berjalan berjam-jam ke sekolah terdekat. Kondisi inilah—selain faktor kesadaran orangtua akan arti pendidikan—yang selalu menyulitkan anak-anak untuk mengenyam bangku pendidikan.
Beruntung, Yupinus dan Angelina merupakan bagian dari 340 peserta didik di Sekolah Taruna Papua. Anak-anak setempat yang mayoritas dari suku Amungme ini dikatakan beruntung karena sejak awal mengenyam pendidikan terfokus dan memperoleh beasiswa penuh untuk kehidupan sehari-hari ataupun biaya pendidikan.
Dengan beasiswa penuh dari Lembaga Pengembangan Masyarakat Amungme dan Kamoro (LPMAK), mereka diambil dari kampung-kampung pedalaman di Mimika untuk bersekolah. Daerah mereka rata-rata hanya bisa dijangkau dengan pesawat terbang kecil ataupun perahu.
Mereka dibawa LPMAK dengan model kuota, bukan seleksi untuk bersekolah di Taruna Papua. ”Kami tidak memilih siapa yang wajib masuk, tetapi siapa yang antar-anak duluan itu kami akomodasi. Kami melihat semangat orangtua,” kata Vebian Magal, Wakil Sekretaris Eksekutif Bidang Pendidikan dan Kesehatan.
Semangat orangtua ini penting untuk mendukung anak-anak mereka yang tinggal jauh dari orangtua. Di Timika, anak-anak akan tinggal di asrama yang lokasinya hanya terpisah pagar besi dengan bangunan sekolah.
Anak-anak SD tinggal di bangunan asrama yang masih baru. Sementara anak SMP tinggal di bangunan asrama lama yang masih satu kompleks seluas 13,5 hektar ini.
Di asrama, anak-anak ditemani 24 pembina yang menemani dan mendampingi anak-anak secara personal. Bermodalkan kesabaran yang tinggi karena karakter dan latar belakang keluarga tiap anak yang berbeda-beda, para pembina ini merangkap menjadi orangtua sementara yang juga tinggal di asrama.
”Contohnya, cara mandi. Kalau di rumah mereka mungkin hanya siram badan lalu pergi ke sekolah, tetapi di sini kami mengajarkan bagaimana mandi yang bersih, sikat gigi yang bersih, dan juga punya tempat tidur yang harus rapi dan bersih,” kata Agustina H Kabogau (29), pembina asrama putri.
Untuk dapat menemani dan mendampingi anak-anak, kata Agustina, dirinya memosisikan sebagai kakak dan pendengar bagi anak-anak sehingga anak bisa nyaman dan mau belajar. Jika ada anak yang rindu orangtuanya dan menangis setiap hari, pembina jugalah yang mengantarkan pulang ke kampung sembari terus meminta dukungan dari orangtua agar ikut membujuk supaya anaknya mau sekolah di asrama.
Adapun Helmiati Menan (29), pembina lainnya mengatakan, para pembina berusaha mendorong anak-anak belajar dan hidup disiplin di asrama. ”Suka dukanya, mereka susah diarahkan. Dikasih tahu tidak langsung dikerjakan. Harus bicara dua sampai tiga kali dulu,” kata Helmiati yang sudah bekerja di sana selama empat tahun.
Kepala Sekolah Asrama Taruna Papua Johana MM Tnunay mengatakan, disiplin bagi anak sangat tinggi. Syarat kognitif kemampuan anak pun menjadi nomor kesekian. ”Yang penting masuk ke sini, si anak siap belajar,” katanya.
Daya tarik
Sekolah swasta berpola asrama ini sebelumnya bernama Penjunan. Pada 2018, pengelolaan sekolah dipegang langsung oleh LPMAK, sebuah lembaga yang mendapatkan dana 1 persen dari pendapatan kotor PT Freeport Indonesia.
Bangunan sekolah dipersiapkan bisa menampung 800 siswa. Namun, karena keterbatasan tenaga guru serta kapasitas asrama yang masih terus ditambah, saat ini sekolah hanya bisa menyediakan layanan pendidikan bagi 340 anak.
Johana mengatakan, minat anak untuk menimba ilmu di Sekolah Asrama Taruna Papua sangat tinggi. Jumlah anak yang bersekolah di Taruna Papua terus meningkat setiap tahun. Kualitas pendidikan serta beasiswa penuh bagi siswa setempat menjadi daya tarik para orangtua.
Saat ini, jumlah guru yang mengajar di SD dan SMP Taruna Papua sebanyak 28 orang. Terdapat 16 rombongan belajar yang terdiri dari 13 rombongan belajar untuk SD dan 3 rombongan belajar untuk SMP dengan penerapan kurikulum 2013. Tiap rombongan belajar diisi 20-25 anak. Bahkan, terdapat kelas yang diikuti 12 anak.
Vebian mengatakan, sekolah berpola asrama ini tepat untuk meningkatkan sumber daya manusia anak-anak Papua. Apalagi, bagi Mimika yang termasuk salah satu kabupaten di Papua dengan kondisi geografis wilayah pegunungan dan pesisir pantai nan berat.
Dengan kondisi ini menyebabkan tak semua anak di Mimika yang mengecap pendidikan wajib 12 tahun hingga tuntas, seperti anak-anak lain daerah perkotaan Mimika. Hingga tahun 2017, Indeks Pembangunan Manusia (IPM) di Papua menempati peringkat ke-34 dengan poin 59,09. Angka ini berada di bawah standar nasional, yakni 70,81.
Data dari Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua tahun 2018, program wajib belajar 12 tahun di Provinsi Papua pun belum berjalan optimal. Rata-rata lama sekolah baru mencapai tujuh tahun, yakni dari tingkat SD kelas I hingga kelas VII sekolah menengah pertama.
Angka putus sekolah dari SD hingga SMP paling banyak di 15 kabupaten di pegunungan tengah Papua. Misalnya, Lanny Jaya, Tolikara, Yalimo, Jayawijaya, Puncak, Puncak Jaya, dan Mimika. Kondisi tersebut juga menyebabkan masalah buta aksara di Papua masih tinggi. Angka buta huruf di Papua mencapai 24 persen atau sekitar 600.000 warga belum dapat membaca dan menulis.
Sekretaris Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Protasius Lobya mengatakan, hambatan utama sekolah di Papua karena minimnya transportasi untuk mengangkut siswa dari kampung ke sekolah. Padahal, rata-rata sekolah berada di ibu kota distrik atau setingkat kecamatan.
”Jarak sekolah dengan rumah warga idealnya 3 kilometer. Di pedalaman, jarak kampung ke sekolah bisa mencapai puluhan kilometer. Para siswa dari rumah dari pagi dan tiba di sekolah siang hari,” ungkapnya.
Kepala Dinas Pendidikan dan Kebudayaan Provinsi Papua Elisa Wonda berpendapat, hanya dengan sekolah berpola asrama, masalah yang dialami para siswa di daerah pedalaman, yakni soal jarak tempuh sekolah, dapat diatasi. ”Selama ini banyak anak di pedalaman yang tidak melanjutkan pendidikan ke jenjang yang lebih tinggi karena faktor jarak rumah dari kampung ke sekolah di pusat distrik (kecamatan) yang sangat jauh,” ujarnya.
Pemerintah Provinsi Papua pun menyiapkan program sekolah menengah atas berpola asrama di perwakilan lima wilayah adat di Papua tahun ini. Upaya ini untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia, khususnya di wilayah pedalaman.
Tempat pelaksanaan program SMA berpola asrama di Papua meliputi Nabire untuk kawasan adat Mee Pago, Biak Numfor mewakili kawasan adat Saereri, Kota Jayapura dari wilayah adat Mamta, Jayawijaya dari wilayah adat La Pago, dan Merauke di wilayah adat Anim Ha.
”Pemprov Papua telah mengucurkan anggaran sebesar Rp 30 miliar untuk lahan pembangunan SMA berpola asrama di lima kabupaten ini. Proses pembebasan lahan hingga kajian analisis dampak lingkungan telah rampung. Luas lahan bervariasi dari 8 hektar hingga 12 hektar,” kata Elisa.
Dalam program ini, Pemprov Papua menyediakan sekolah dengan perlengkapan yang lengkap, asrama para siswa, rumah para guru, fasilitas belajar, lapangan untuk kegiatan olahraga, dan lahan untuk berkebun. ”Kami berharap pemerintah pusat turut membantu pembangunan SMA berpola asrama di empat wilayah lainnya,” harap Elisa.
Sekolah-sekolah asrama, termasuk Sekolah Asrama Taruna Papua, menjadi sepotong harapan upaya Mimika untuk meningkatkan kualitas sumber daya manusia orang Papua. (ICH/FLO/ENG/DKA/APO).