Moda raya terpadu atau MRT dijadwalkan diresmikan Presiden Joko Widodo pada Minggu, 24 Maret nanti. Namun, hingga kini tarif MRT masih belum ditentukan.
JAKARTA, KOMPAS — Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah Provinsi DKI Jakarta Sri Haryati mengatakan, penentuan tarif moda raya terpadu dan kereta ringan memperhitungkan kemampuan masyarakat membayar serta kemauan masyarakat membayar.
”Ini kami sudah melalui survei dan studi dari negara-negara yang melaksanakan. Tarif ini masuk dalam angka kemampuan dan kemauan membayar, tidak sembarangan,” katanya di Jakarta, Senin (18/3/2019).
Sri mengatakan, moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan (LRT) diharapkan dapat dimanfaatkan seluruh kalangan masyarakat. Akan tetapi, ia mengakui bahwa ada kelompok masyarakat tertentu yang menjadi target prioritas untuk penggunaan moda berbasis rel tersebut. Namun, ia tak bersedia mengatakan kalangan apa yang dimaksud.
Dalam rancangan yang diajukan ke DPRD DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi (Pemprov) DKI Jakarta mengusulkan tarif Rp 10.000 per penumpang untuk MRT dan Rp 6.000 per orang untuk LRT. Adapun kemauan masyarakat membayar Rp 8.500-Rp 12.500 untuk MRT dan Rp 5.000-Rp 7.000 untuk LRT.
Rapat ketiga Komisi C
Hingga rapat yang ketiga kalinya, Senin kemarin, Komisi C DPRD DKI Jakarta belum juga menyepakati usulan tarif MRT dan LRT. Komisi C beralasan masih memerlukan kajian detail dari PT MRT Jakarta dan PT LRT Jakarta untuk bisa membuat rekomendasi penetapan atas usulan tarif.
Santoso, Ketua Komisi C DPRD DKI Jakarta, seusai rapat pembahasan bersama PT MRT Jakarta, PT LRT Jakarta, Dinas Perhubungan DKI Jakarta, dan Biro Perekonomian Pemprov DKI mengatakan, pembahasan kembali dilanjutkan pada Rabu pagi esok karena DPRD harus mengetahui detail yang menyebabkan nilai tarif sesuai usulan dan besaran subsidi yang akan diberikan.
”Pertimbangannya masih tinggi, ya. MRT Rp 31.000 dan LRT yang cuma 5,8 kilometer itu tarif keekonomiannya Rp 41.000. Jaraknya pendek, masyarakatnya bayar Rp 6.000. Berarti subsidinya Rp 31.000. Nah, ini yang akan jadi pertanyaan dari anggota DPRD, kenapa bisa sebanyak itu subsidinya,” kata Santoso.
Kajian yang komprehensif, lanjut Santoso, sangat diperlukan sehingga subsidi transportasi tidak terlalu menyedot fiskal DKI Jakarta.
Dalam pembahasan bersama tersebut terungkap, penetapan tarif dilakukan dengan mempertimbangkan tingkat kemauan membayar (willingness to pay atau WTP) dan kemampuan membayar (ability to pay atau ATP) dari masyarakat DKI Jakarta.
Tuhiyat, Direktur Keuangan dan Administrasi PT MRT Jakarta, menjelaskan, dari survei WTP dan ATP tersebut, lalu PT MRT Jakarta menyerahkan kajiannya ke tim tarif DKI.
Untuk kisaran penumpang, PT MRT Jakarta juga sudah membuat estimasi awal tentang jumlah penumpang. Sesuai dengan kajian, MRT akan mengangkut 130.000 penumpang per hari.
Namun, perhitungan jumlah penumpang 130.000 orang per hari baru akan dicapai pada tahun keempat pengoperasian komersial. MRT Jakarta membuat rencana, pada tahun pertama 65.000 orang akan terangkut. Tahun kedua 91.000 orang penumpang per hari. Tahun ketiga 117.000 penumpang per hari.
Adapun estimasi penumpang LRT Jakarta untuk rute sepanjang 5,8 km adalah 14.255 orang per hari.
Dengan demikian, didukung sejumlah faktor, seperti biaya modal, biaya operasi dan perawatan sarana, biaya operasi dan perawatan prasarana, serta estimasi penumpang per hari, muncullah tarif keekonomian untuk MRT Rp 31.659 dan untuk LRT Rp 41.654. Dengan begitu, sesuai dengan usulan tarif dari pemprov itu, kebutuhan subsidi MRT Rp 572 miliar dan LRT Rp 327 miliar.
Meski ada paparan itu, Komisi C tetap menginginkan hitungan detail dari kedua operator. ”Sebab, sekali lagi subsidi terkait dengan transportasi massal ini bukan cuma MRT dan LRT, tetapi juga Transjakarta memerlukan subsidi yang sangat besar,” kata Santoso.
Adapun MRT Jakarta dijadwalkan diresmikan Presiden Joko Widodo pada Minggu (24/3/2019).