Pemerintah China Ungkap Penangkapan Hampir 13.000 Warga di Xinjiang
Oleh
Kris Mada
·3 menit baca
BEIJING, SELASA — Pemerintah China mengungkapkan, mereka telah menahan hampir 13.000 warga daerah otonom Xinjiang dan menghancurkan ”geng-geng teroris” sejak 2014. Beijing menyebut mereka yang ditangkap itu dengan sebutan ”teroris”. Langkah tersebut termuat dalam laporan yang diterbitkan Pemerintah China, Senin (18/3/2019).
Pemerintah China menuai kritik internasional terkait dengan kebijakan mereka di wilayah Xinjiang yang, menurut kelompok-kelompok penggiat hak asasi manusia, memasukkan sebanyak 1 juta warga Uighur dan etnis lainnya—sebagian besar minoritas Muslim—serta menahan mereka di kamp-kamp interniran.
Beijing menyatakan, langkah itu dilakukan untuk meredam ancaman kelompok militan dan menyebut kamp-kamp interniran itu sebagai pusat-pusat latihan kejuruan. Melalui buku putih berisi laporan resmi pemerintah yang dirilis pada Senin kemarin, Dewan Negara—atau kabinet China—menyatakan bahwa Pemerintah China ”tanpa henti menindak keras, sesuai undang-undang, setiap upaya mendukung terorisme dan ekstremisme”.
Dokumen tersebut juga menegaskan, Xinjiang sudah lama menjadi bagian teritorial China, tetapi ”kelompok-kelompok teroris dan ekstremis” telah menggerakkan aktivitas-aktivitas separatis dengan ”memalsukan” sejarah wilayah tersebut. Dalam laporan yang panjang itu, Beijing juga mengklaim, mereka membubarkan kelompok ekstremis keagamaan, tetapi tak memberikan bukti kuat soal kejahatan yang dituduhkan kepada kelompok-kelompok itu.
Beijing juga menyatakan, mereka sudah menjalankan deradikalisasi berbasis hukum di Xinjiang. Pendekatan itu dilakukan untuk menangkal penebaran dan gelombang pasang ekstremisme agama.
”Sejak 2014, Xinjiang telah menghancurkan 1.588 kelompok teroris dan kekerasan, menangkap 12.995 orang, menyita 2.052 peledak, menghukum 30.645 orang karena terlibat pada 4.858 kegiatan keagamaan ilegal, dan menyita 345.229 eksemplar salinan materi keagamaan ilegal,” sebut buku putih itu.
Dalam laporan itu tertulis bahwa Xinjiang mendapat pengaruh kebudayaan Islam. Hal itu tidak mengubah fakta bahwa kebudayaan Xinjiang adalah wajah kebudayaan China. ”Islam bukan kepercayaan asli warga Uighur dan etnis lain, juga bukan satu-satunya kepercayaan,” demikian tertulis di laporan itu.
China berusaha mempertahankan diri dari tuduhan pemberangusan kebudayaan terhadap etnis Uighur, warga mayoritas di Xinjiang. Beijing juga menyebut kritik terhadap kebijakan di Xinjiang sebagai bias dan berusaha merusak reputasi serta menghambat kebangkitan China sebagai kekuatan global.
Beijing menyatakan, mereka menjalankan deradikalisasi berbasis hukum di Xinjiang.
Selama puluhan tahun, China berusaha menekan kegiatan dan sentimen pro-kemerdekaan di wilayah Xinjiang, yang sebagian dipicu oleh frustrasi terkait dengan arus migrasi etnis mayoritas Han ke wilayah otonom itu. Otoritas di Beijing menyatakan, para ekstremis di wilayah tersebut memiliki keterkaitan dengan kelompok-kelompok teror asing, tetapi tidak banyak mengungkapkan bukti-bukti pendukung klaim tersebut.
Meski kebudayaan Xinjiang berbeda dibandingkan dengan mayoritas China, Beijing berkeras, Xinjiang bagian tidak terpisah China sejak zaman dulu.
Kritik terhadap laporan
”Laporan itu menggunakan definisi kabur dan meluas soal terorisme dan ekstremisme. Jelas sekali karena kesewenangan pemerintah dan definisi kabur menyebabkan kesewenangan meluas bagi banyak orang di Xinjiang. Sama sekali tidak normal kala orang kehilangan kontak dengan kerabat jika mereka benar-benar dalam ’pelatihan vokasi’, seperti diklaim Pemerintah China,” kata Patrick Poon, peneliti soal China, di Amnesty International.
Laporan buku putih itu dinilai sebagai ’bagian dari upaya Pemerintah China meredam meningkatnya kritik komunitas internasional terhadap kebijakan keras mereka di Xinjiang’.
Banyak pihak mengkritik pelatihan vokasi untuk warga Xinjiang. Tempat pelatihan dinilai sebagai penjara bagi orang-orang yang dinilai terlibat kegiatan ekstremis di Xinjiang. Beijing berkeras pusat pelatihan vokasi adalah sekolah normal.
Maya Wang, peneliti senior China untuk lembaga Human Rights Watch di Hong Kong, menyebut laporan buku putih sebagai ”bagian dari upaya Pemerintah China meredam meningkatnya kritik komunitas internasional terhadap kebijakan keras mereka di Xinjiang”.
Serangan balik Pemerintah China terkait dengan kebijakan di Xinjiang ”terlihat mencerminkan kekhawatiran mereka tentang citra internasional”, lanjut Wang, merujuk pada negara-negara berpenduduk mayoritas Muslim tempat China mempromosikan secara luas kebijakan inisiatif sabuk dan jalan (BRI).
”Jika Pemerintah China begitu yakin bahwa tidak ada yang disembunyikan di Xinjiang, mereka seharusnya memperbolehkan pemantau independen internasional, seperti PBB, masuk ke wilayah itu,” ujar Wang. (AP/AFP/SAM)