Penularan TB Masih Tinggi, Perlu Lebih Giat Temukan Kasus Baru
JAKARTA, KOMPAS — Jumlah penderita tuberkulosis di Indonesia diperkirakan 842.000 orang. Dari jumlah itu, masih ada 39 persen yang belum terdeteksi sehingga belum mendapatkan pengobatan.
Akibatnya, penularan penyakit tuberkulosis (TB) masih tetap tinggi. Perlu intervensi yang lebih giat untuk menemukan kasus baru agar target eliminasi kasus TB pada 2030 bisa tercapai.
Direktur Pencegahan dan Pengendalian Penyakit Menular Langsung (P2PML) Kementerian Kesehatan Wiendra Waworuntu menyampaikan, pemerintah telah berkomitmen untuk mempercepat upaya eliminasi tuberkulosis (TB). Untuk itu, deteksi kasus baru perlu ditingkatkan dan dibarengi dengan pengobatan yang tepat.
”Angka cakupan CDR (temuan kasus baru) di seluruh Indonesia baru 61 persen, padahal target yang mau dicapai 70 persen. Jadi, pada 2018, target tidak kita capai. Sekarang yang harus didorong adalah menemukan penderita sebanyak-banyaknya dan mendapatkan pengobatan yang terbaik,” ujarnya di Jakarta, Selasa (19/3/2019).
TB adalah penyakit menular yang disebabkan oleh kuman Mycobacterium tuberculosis. Penularannya bisa melalui udara atau melalui percikan dahak penderita. Biasanya, penularan terjadi saat pasien batuk, bersin, berbicara, atau meludah sehingga memercikkan kuman ke udara. Seseorang bisa langsung terinfeksi hanya dengan menghirup sejumlah kecil dari kuman TB.
Setidaknya, pasien dengan TB basil tahan asam (BTA) positif bisa menularkan ke 10-15 orang lain setiap tahun. Pada 1971, separuh penduduk Indonesia terjangkit TB . Bahkan, Organisasi Kesehatan Dunia (WHO) mencatat sepertiga populasi dunia sudah tertular TB.
Wiendra menambahkan, inovasi perlu dikembangkan untuk mencapai target temuan kasus baru di masyarakat. Intervensi program dari pemerintah juga diperkuat dengan menyiapkan fasilitas-fasilitas kesehatan yang secara komprehensif mampu mendiagnosis dan merawat pasien TB dengan baik.
Saat ini, sudah ada 23.888 layanan TB di Indonesia. Sebanyak 11.043 layanan aktif melaporkan kasus TB sampai tingkat nasional. Laboratorium penyedia diagnosis TB juga sudah lebih ditingkatkan melalui pengadaan 7.326 laboratorium rujukan mikroskopis, 963 laboratorium untuk tes cepat molekuler TB, dan 21 laboratorium biakan TB.
Wiendra menambahkan, fasilitas kesehatan tingkat pertama seperti puskesmas tidak cukup hanya menunggu pasien yang datang, tetapi juga harus aktif mencari kasus di lapangan. Selain itu, proteksi untuk mencegah terjadinya infeksi juga perlu lebih masif. Faktor-faktor risiko juga perlu upaya mitigasi yang lebih baik dan meningkatkan upaya pengobatan TB yang laten.
”Kendala yang dihadapi sekarang adalah kesadaran masyarakat masih sangat kurang. Kalau sudah mengalami batuk tidak mau langsung memeriksakan ke layanan kesehatan. Selain itu, jika sudah terdiagnosis, berobatnya tidak teratur. Padahal, kalau tidak teratur justru bisa terjadi resistensi,” katanya.
Direktur Kesehatan Direktorat Jenderal Kekuatan Ketahanan Kementerian Pertahanan Arie Zakaria menambahkan, kebiasaan buruk masyarakat sering meludah sembarangan juga menjadi kendala dalam upaya pencegahan TB.
”Hidup bersih dan sehat perlu digalakkan untuk mencegah penularan berbagai penyakit, termasuk tuberkulosis. Tuberkulosis ini tidak hanya menyerang paru, tetapi juga organ lain seperti tulang dan usus,” ucapnya.
Beban psikologis
Mantan pasien tuberkulosis yang juga pendiri Pejuang Tangguh (Peta), organisasi dukungan pasien tuberkulosis, Ully Ulwiyah menyampaikan, kesadaran masyarakat untuk mencegah dan mengobati penyakit TB secara teratur sangat penting agar bisa mengurangi beban di masa mendatang. Ia menyampaikan, tidak hanya kesakitan yang dialami, pasien dengan TB juga mengalami beban psikologis yang berat.
”Stigma masyarakat terhadap pasien TB masih tinggi. Ada keluarga yang memisahkan anggota keluarganya yang punya TB, mulai dari alat makan, waktu makan, dan tempat tidur. Bahkan, sampai dikucilkan,” katanya.
Menurut dia, perlakuan seperti itu berpengaruh pada keberhasilan terapi. Tanpa dukungan keluarga, pasien TB justru tidak mau mengonsumsi obat secara teratur. Sementara kesembuhan TB bergantung pada konsistensi konsumsi obat. Sekali minum, pasien perlu mengonsumsi 5-18 butir obat.