Kita apresiasi kedua calon wakil presiden yang menyampaikan pandangan masing-masing tentang riset pada debat yang berlangsung Minggu (17/3/2019) malam.
Kita hargai pula tim panelis yang memasukkan topik ini dalam daftar pertanyaan untuk kedua cawapres. Sesungguhnya riset dan inovasi memang hal yang penting bagi kepemimpinan nasional, terlebih jika dikaitkan dengan visi Indonesia 2045 yang berimajinasi masuk menjadi ekonomi berkelas 10 besar dunia.
Dari debat kita mendengar, cawapres 01 KH Ma’ruf Amin menyampaikan gagasan satu Badan Riset Nasional yang bisa menyatukan aktivitas riset di Tanah Air. Cawapres 02 Sandiaga Salahuddin Uno menanggapi, pembentukan wadah itu hanya akan menambah beban birokrasi. Ini satu dari tujuh perbedaan pandangan yang muncul selama debat cawapres.
Ada dua catatan terkait topik riset. Pertama, terkait urgensinya, tak bisa dimungkiri lagi bahwa negara yang maju dalam berbagai bidang, khususnya sains, teknologi, dan berikut ekonomi-industrinya, pasti memiliki riset yang maju. Kita menyaksikan fenomena pada Korea Selatan dan China.
Dalam laporan akhir Komite Inovasi Nasional (KIN) pada era pemerintahan Presiden Susilo Bambang Yudhoyono, ada dua skenario. Kurva pertumbuhan ekonomi yang ditopang riset-inovasi dan ekonomi yang dikelola tanpa riset-inovasi, seperti ekonomi yang semata bertumpu pada niaga dan konsumsi. Yang terakhir pertumbuhannya landai saja. Ekonomi dengan riset-inovasi memperlihatkan kurva lebih eksponensial.
Sering muncul, termasuk dalam debat cawapres 2019, riset macam apa yang seharusnya kita kerjakan. Seorang cawapres mengemukakan, sudah ada macam-macam riset dihasilkan oleh peneliti Indonesia, tetapi belum ada yang memberikan hasil signifikan bagi kinerja ekonomi.
Di sinilah mulai dipersoalkan jenis riset. Yang diperlukan memang riset yang ada tautan dengan industri. Dalam bahasa populer, ada link and match. Kita mengiyakan pandangan ini, sesungguhnya masih ada faktor lain, yakni tekad mental kita, apakah mau menggunakan hasil riset nasional atau kita terus senang membeli produk buatan luar negeri.
Pengalaman mengikuti kegiatan riset di Tanah Air, banyak hasil riset bagus yang lalu layu jadi onggokan makalah karena industri atau instansi pemerintah tak berminat mengembangkannya lebih lanjut hingga menjadi produk komersial.
Jika mengaitkan riset dan inovasi, itu pun sebagai langkah awal. Pada tahap selanjutnya, kita juga harus mengalokasikan dana untuk riset ilmiah murni untuk pengembangan sains dan teknologi. Riset murni ini yang bisa memberi kita tradisi ilmiah dan memiliki kapasitas untuk memahami alam, juga fenomena baru, seperti kecerdasan buatan.
Kedua tentang organisasi, kita mempunyai Dewan Riset Nasional. Cawapres 01 berharap, dengan Badan Riset Nasional kita bisa menyatukan riset di kementerian. Kita memiliki lembaga penelitian nonkementerian pula. Bisa saja organisasi membantu. Namun, yang lebih penting adalah komitmen kita untuk mengadopsi hasil riset dan inovasi yang berpotensi dikembangkan menjadi barang dan mesin yang dibutuhkan.