JAKARTA, KOMPAS — Keputusan besaran tarif MRT dan LRT masih mandek di tingkat DPRD DKI Jakarta. Usulan Pemerintah Provinsi DKI Jakarta disebutkan sudah melalui berbagai perhitungan kemampuan masyarakat.
Asisten Perekonomian dan Keuangan Sekretariat Daerah DKI Jakarta Sri Haryati mengatakan, penentuan tarif moda raya terpadu (MRT) dan kereta ringan (LRT) memperhitungkan kemampuan masyarakat membayar serta kemauan masyarakat membayar.
”Ini kami sudah melalui survei dan studi dari negara-negara yang melaksanakan. Tarif ini masuk dalam angka kemampuan dan kemauan membayar, tidak sembarangan,” katanya di Jakarta, Senin (18/3/2019).
Sri mengatakan, MRT dan LRT diharapkan dapat dimanfaatkan semua kalangan masyarakat. Namun, ia mengakui, ada kelompok masyarakat tertentu yang menjadi target prioritas untuk penggunaan moda berbasis rel tersebut. Meski demikian, ia tak bersedia mengatakan kalangan apa yang dimaksud.
Dalam rancangan yang diajukan ke DPRD DKI Jakarta, Pemerintah Provinsi Jakarta mengusulkan tarif Rp 10.000 untuk MRT dan Rp 6.000 untuk LRT. Adapun kemauan masyarakat membayar disebutkan Rp 8.500-Rp 12.500 untuk MRT dan Rp 5.000-Rp 7.000 untuk LRT.
Saat ini, alokasi subsidi tarif MRT di APBD DKI Jakarta tersedia Rp 672 miliar untuk MRT dan Rp 327 miliar untuk LRT. Dengan perhitungan ini, subsidi Rp 21.659 per penumpang untuk MRT dan Rp 35.655 per penumpang untuk LRT. Alokasi anggaran subsidi masih mungkin diusulkan ditambah dalam APBD Perubahan DKI Jakarta tahun 2019.
Sebelumnya, Ketua Pengurus Harian Yayasan Lembaga Konsumen Indonesia Tulus Abadi menyatakan, tarif MRT harus memperhatikan kemampuan membayar dan belanja transportasi konsumen.
Ia juga mengkritisi DPRD DKI Jakarta yang hingga sekarang belum juga menyetujui usulan tarif dari Pemerintah Provinsi DKI Jakarta tersebut.
Menurut Tulus, besaran tarif MRT harus benar-benar memperhitungkan gambaran konkret alokasi anggaran transportasi calon konsumen MRT dari total pengeluaran dan pendapatannya.
”Hal ini harus didukung dengan hasil survei yang komprehensif dan meyakinkan. Tanpa memperhitungkan aspek kemampuan membayar konsumen, MRT Jakarta akan ditinggal konsumennya, alias tidak laku,” katanya.
Kemampuan membayar ini harus dielaborasi sasaran mayoritas pengguna MRT. Di sisi yang lain, manajemen MRT Jakarta harus mengeksplorasi pendapatannya, bukan hanya mengandalkan pendapatan tiket.
Tulus mengatakan, agar MRT efektif, Pemerintah Provinsi DKI Jakarta seharusnya juga melakukan pembatasan dan pengendalian penggunaan kendaraan pribadi di sepanjang koridor yang dilewati MRT.
Apabila pengoperasian MRT dan LRT tidak ditunjang dengan tarif yang terjangkau serta tidak ada pembatasan penggunaan kendaraan pribadi, dikhawatirkan MRT tak akan mampu menjalankan fungsi utamanya, yaitu turut mengurangi kemacetan Jakarta.