Tuan Guru, Sosok Besar Penanda Ingatan Indonesia di Afrika Selatan
Oleh
B Josie Susilo Hardianto
·3 menit baca
Buku tidak hanya menjadi saluran ilmu dan sumber pengetahuan. Buku juga menjadi sarana bagi komunitas dan bangsa untuk makin memperkuat relasi dan kemitraan.
Hal itu pula yang Minggu (17/3/2019) lalu terwujud mengiringi peluncuran buku From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Times of Tuan Guru yang ditulis oleh Shafiq Morton.
”Peluncuran buku ini memiliki arti penting tidak hanya untuk Afrika Selatan, tetapi juga untuk Indonesia. Secara tidak langsung, buku ini adalah manifestasi nyata dari hubungan sejarah yang kuat antara kedua negara. Saya berharap pustaka ini akan semakin memperkaya ingatan publik atas pentingnya hubungan antara Indonesia dan Afrika Selatan,” demikian disampaikan Duta Besar RI untuk Pretoria, Salman Al Farisi, di Cape Town, Afrika Selatan.
Dalam pernyataan resmi KBRI Pretoria disebutkan, Dubes Salman Al Farisi menghadiri acara peluncuran buku atas undangan lembaga wakaf Afrika Selatan, AWQAF SA. Sebagai lembaga wakaf nasional Afsel yang berupaya untuk memberdayakan umat, penerbitan buku ini adalah bagian dari proyek the Awqaf’s Leaders and Legacies Project yang bertujuan merawat ingatan atas tokoh-tokoh besar pemimpin umat.
Penulis buku, Shafiq Morton, adalah seorang jurnalis foto, editor, dan presenter radio/TV yang telah memiliki pengalaman puluhan tahun dan memenangi berbagai penghargaan. Penulis sebelumnya telah meliput berbagai topik, seperti kampanye anti-apartheid, pembebasan Nelson Mandela, dan pemilihan umum Afsel 1994.
Tahun 2008, Morton memenangkan Penghargaan Vodacom National Award pada kategori media komunitas dan penghargaan regional pada tahun 2010. Karya-karya penulis sebelumnya Notebooks from Makkah and Madinah (a Saudi Arabian travelogue), Surfing behind the Wall, My Palestinian Journey, dan A Mercy to All.
Sosok utama
Tuan Guru, sosok utama yang ditulis Morton, adalah ulama terkemuka keturunan Indonesia. Tuan Guru lahir di Tidore pada tahun 1712 dan meninggal di Cape Town pada 1807 dalam usia 95 tahun. Ia tiba di Cape Town dengan kapal Zeepard—milik kuasa dagang Belanda di Hindia Belanda, VOC—pada tahun 1780 saat berusia 68 tahun.
Sejatinya, Belanda mengirim Tuan Guru ke Cape Town untuk menghalangi interaksinya dengan Inggris yang adalah musuh bebuyutan Belanda era kolonialisme. Dan di tanah Afrika, Tuan Guru menjadi ulama yang mendakwahkan Islam.
Dalam pengasingannya itu, sebagaimana pernyataan resmi KBRI Pretoria, Tuan Guru mendirikan madrasah pertama di Afsel pada 1793 dan tak lama setelah itu, membangun masjid pertama di Afrika Selatan, ”Masjid ul-Awwal”.
Tuan Guru, yang seorang Hafiz Quran, menuliskan kembali Al Quran dari hafalannya saat dipenjara di Pulau Robben selama dua kali. Ulama besar ini juga menulis karya lain, yaitu Ma’rifat wal Iman wal Islam (Pengetahuan Iman dan Agama) setebal 613 halaman, yang menjadi panduan Muslim di Cape Town untuk belajar Islam.
Tuan Guru sangat dihormati sebagai sosok besar di Afrika Selatan. Tidak hanya beliau, para pendatang Muslim telah menjadi bagian dari perjuangan nasional Afrika Selatan dari belenggu kolonialisme. Nama-nama terhormat tahanan politik kolonialisme, seperti Tuan Guru, Syekh Yusuf, dan Hadjie Matarim, menjadi simbol perjuangan melawan kesewenang-wenangan Belanda dan Inggris.
Dubes Salman Al Farisi mengapresiasi karya Morton yang telah secara artikulatif menyelami kembali hidup dan kontribusi Tuan Guru bagi Afrika Selatan. Dubes RI meyakini bahwa buku ini akan memperkaya pengetahuan kedua bangsa.
”KBRI Pretoria dan KJRI Cape Town mendukung penuh pelaksanaan kegiatan peluncuran buku From the Spice Islands to Cape Town: The Life and Times of Tuan Guru. Kegiatan dimaksud semakin menyemarakkan rangkaian kegiatan peringatan 25 tahun hubungan diplomatik RI-Afrika Selatan sepanjang tahun 2019,” kata pernyataan resmi itu.