Menjelang pemilihan umum, baik itu pemilihan kepala daerah maupun pemilihan presiden, harian Kompas melalui bagian litbang rutin menyelenggarakan survei elektabilitas para calon. Tak terkecuali pada Pemilu Presiden 2019 yang akan diselenggarakan 17 April mendatang.
Sejak 2007 hingga saat ini, Litbang Kompas telah melakukan 14 kali survei elektabilitas pemilihan umum. Jika dihitung, pilpres kali ini, harian Kompas telah melakukan 15 kali survei elektabilitas.
Survei Kompas pun selalu ditunggu hasilnya oleh banyak pihak. Hal ini, antara lain, karena hasil survei mendekati hasil pemilihan umum yang sebenarnya. Sebagai contoh, pada Pilpres 2014, Litbang Kompas tanggal 21 Juni 2014 merilis survei elektabilitas pasangan Prabowo Subianto-Hatta Rajasa dan Joko Widodo-Jusuf Kalla.
Saat itu hasil survei menunjukkan elektabilitas Prabowo-Hatta pada kisaran 43-47 persen dan pasangan Jokowi-Kalla pada angka 52-56 persen.
Adapun hasil Pemilu 2014, menurut penghitungan KPU, pasangan Prabowo-Hatta memperoleh suara 46,85 persen dan Jokowi-Kalla sebesar 53,15 persen. Hasil Pemilu 2014 berada dalam kisaran hasil survei elektabilitas litbang pada 21 Juni 2014.
”Ini bukan menunjukkan penyelenggara surveinya yang hebat, melainkan karena penyelenggara survei, dalam hal ini Kompas, tunduk pada ilmu statistik,” ujar General Manager Litbang Kompas Harianto Santoso di Jakarta, Selasa (19/3/2019).
Kristanto mengatakan, survei elektabilitas pilpres kali ini diperoleh dari 2.000 responden di 500 desa yang tersebar di 34 provinsi di Indonesia. Dari satu desa diambil empat responden yang dipilih secara acak.
Penentuan jumlah responden di tiap provinsi dilakukan berdasarkan jumlah penduduk dan daftar pemilih tetap (DPT) serta data potensi desa menurut data Badan Pusat Statistik (BPS) terbaru. Misalkan di provinsi A terdapat 5 persen dari total DPT, di provinsi itu akan dicari responden sebanyak 5 persen dari 2.000 responden yang ditetapkan litbang.
Dari tingkat provinsi, pencarian responden akan dipersempit ke tingkat kabupaten/kota, kelurahan, hingga RT. Di tingkat kelurahan, Litbang Kompas memilih dua RT secara acak. Kemudian, di tingkat RT, setelah meminta izin untuk melakukan survei, Litbang Kompas mendata semua kartu keluarga (KK) di wilayah itu.
”Misalkan dari pengacakan itu diperoleh RT tujuan yang berada di daerah terpencil di atas gunung. Itu tetap harus didatangi tenaga survei,” ujar Kristanto.
Setelah memperoleh data KK, Litbang Kompas akan memilih responden secara acak total empat orang dari dua keluarga. Adapun dalam satu keluarga itu akan dicari responden satu laki-laki dan satu perempuan yang telah berusia 17 tahun ke atas.
”Apabila dalam pemilihan secara acak itu keluar nama ibu, si ibu itu lagi ke ladang atau ke pasar, tenaga survei kami, ya, harus menunggu dan mewawancarai ibu itu,” ujar Kristanto.
Para responden diminta menjawab 150 pertanyaan terkait dengan pemilu. Jenis pertanyaan bervariasi, mulai dari pertanyaan tertutup, terbuka, semi-tertutup, hingga semi-terbuka. Proses wawancara diperkirakan memakan waktu 30-40 menit.
Selain itu, responden akan melakukan simulasi pemilihan umum. Responden diminta memilih salah satu pasangan calon. Hasil pemilihan akan dimasukkan ke dalam amplop yang kemudian disegel.
Para responden diminta menjawab 150 pertanyaan terkait dengan pemilu. Jenis pertanyaan bervariasi, mulai dari pertanyaan tertutup, terbuka, semi-tertutup, hingga semi-terbuka.
”Bertanya kepada responden soal pilihan pasangan calon presiden itu termasuk pertanyaan sensitif sehingga kami melakukan simulasi pencoblosan,” ujar Kristanto.
Ia mengatakan, dengan simulasi ini, tingkat akurasi pun meningkat.
”Saat responden langsung ditanya, pilih presiden siapa, biasanya yang tidak menjawab atau rahasia sebanyak 20-30 persen. Tetapi, dengan menggunakan model simulasi pemilihan umum, jumlah yang tidak menjawab atau rahasia berkurang hanya menjadi 12-15 persen,” ujar Kristanto.
Survei itu dilakukan selama dua minggu mulai 24 Februari 2019 hingga 7 Maret 2019. Adapun jumlah tenaga survei yang turun ke lapangan sekitar 250 orang. Mereka kebanyakan adalah mahasiswa, baik dari universitas negeri maupun swasta, mulai dari semester keempat ke atas. Satu tenaga survei mendapat tugas mewawancarai delapan responden.
Tenaga survei bukan karyawan harian Kompas, melainkan tenaga sukarelawan yang diberikan upah. Namun, sebelum terjun ke lapangan, mereka akan memperoleh pelatihan dari Litbang Kompas.
Untuk mengecek kinerja tenaga survei dan menjaga kualitas jawaban responden, Litbang Kompas akan kembali menghubungi responden terkait untuk ditanyakan apakah betul sudah diwawancarai tenaga survei untuk survei elektabilitas.
”Kami menelepon kembali responden untuk mengecek apakah tenaga survei ini benar-benar melakukan wawancara atau berbohong. Jika berbohong, hasil wawancara dengan responden itu akan kami hapus dan tidak kami pakai. Jadi, hasil survei harus betul-betul mencerminkan data di lapangan,” kata Kristanto.
Setelah itu, semua data hasil survei dikumpulkan dan diolah oleh Litbang Kompas.
Untuk melaksanakan kegiatan ini, persiapan sudah dilakukan sejak Januari 2019. Saat itu, Litbang Kompas menyiapkan logistik, menyiapkan kuesioner, dan merekrut tenaga survei.
”Persiapan yang matang dan patuh pada ilmu statistik adalah hal yang selalu kami pegang dalam melakukan survei,” ujar Harianto.