Eks Petinggi PT Hutama Karya Didakwa Rugikan Negara Rp 56 Miliar
Oleh
Khaerudin
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Mantan General Manager Divisi Gedung PT Hutama Karya (Persero) Budi Rachmat Kurniawan didakwa merugikan negara Rp 56,913 miliar. Dia disebut turut memperkaya diri sendiri dan korporasi terkait proyek pembangunan Gedung Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri di Riau dan Sumatera Barat.
Dugaan penyalahgunaan kewenangan oleh Budi dan kerugian negara yang mencapai puluhan miliar rupiah itu terungkap dalam sidang pembacaan dakwaan oleh jaksa penuntut umum Komisi Pemberantasan Korupsi di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Dalam sidang tersebut, jaksa Wawan Yunarwanto menjelaskan, Budi telah melakukan beberapa kejahatan sebagai orang yang melakukan atau yang turut serta melakukan perbuatan melawan hukum.
”Melakukan pengaturan dalam proses pelelangan untuk memenangkan PT Hutama Karya memasukkan arranger fee (biaya perantara) dalam komponen anggaran biaya lelang untuk diberikan kepada pihak-pihak terkait pelelangan dan untuk kepentingan pribadi terdakwa,” kata jaksa Wawan.
Menurut jaksa, Budi turut menandatangani kontrak meskipun ia mengetahui terdapat rekayasa dalam pelelangan dan melakukan subkontrak pekerjaan utama tanpa persetujuan pejabat pembuat komitmen (PPK).
Selanjutnya, Budi juga membuat pekerjaan fiktif untuk menutup biaya arranger fee dan menerima pembayaran seluruhnya atas pelaksanaan pekerjaan meskipun pelaksanaannya belum selesai 100 persen atas pembangunan Gedung Kampus Institut Pemerintahan Dalam Negeri (IPDN) Sumatera Barat dan Riau.
Jaksa menilai, perbuatan Budi telah memperkaya diri sendiri sebesar Rp 1,045 miliar.
Memperkaya korporasi
Tak hanya itu, Budi turut memperkaya orang lain dan korporasi, yakni PPK pada Satker Setjen Kementerian Dalam Negeri Dudy Jocom dengan uang sebesar Rp 5,325 miliar, Senior Manager (SM) Pemasaran Regional I dan SM Pemasaran Divisi Gedung PT HK Bambang Mustaqim Rp 500 juta, dan Hendra Rp 4 miliar.
Budi juga memperkaya Sri Kandiyati sebesar Rp 300 juta, Mohammad Rizal Rp 510 juta, Chaerul Rp 30 juta, dan Sutidjan sebesar Rp 500 juta.
Selanjutnya, Budi memperkaya sejumlah korporasi, antara lain PT Hutama Karya Rp 40,856 miliar, CV Prima Karya Rp 3,343 miliar, CV Restu Kreasi Mandiri Rp 265,711 juta, dan PT Yulian Berkah Abadi sebesar Rp 79,403 juta.
Komitmen fee
Kasus ini bermula pada tahun 2009 saat Kemendagri menyampaikan rancangan pembangunan tujuh kampus IPDN pada Sekretariat Jenderal (Setjen) Kemendagri di sejumlah daerah. Namun, hanya empat wilayah yang disetujui pembangunannya, antara lain Gowa Sulawesi Selatan, Rokan Hilir Riau, Bukittinggi Sumatera Barat, dan Minahasa Sulawesi Utara.
Untuk proyek pembangunan di wilayah Rokan Hilir, Riau dan Bukittinggi, Sumatera Barat, dimenangi PT HK dengan nilai pekerjaan masing-masing Rp 99,95 miliar dan Rp 127,89 miliar.
Pada 2010 dilakukan pertemuan antara Dudy Jocom, Mulyaman, Irman Indrayadi, Arry Aryadi (PT HK), Ari Priyo Widagdo (PT Adhi Karya), dan Slamet Sunaryo (PT Waskita Karya) yang membicarakan pembagian empat gedung kampus IPDN.
Selanjutnya sekitar awal tahun 2011, Bambang Mustaqim bertemu dengan Kuasa Pengguna Anggaran (KPA) pada pusat AKPA Setjen Kemendagri 2011 Dudy Jocom.
Dalam pertemuan itu, Dudy Jocom meminta komitmen fee sebesar 7 persen dari nilai kontrak yang harus diserahkan kepada pihak Kemendagri. Kemudian, Bambang melaporkan adanya permintaan itu kepada Budi.
Atas permintaan itu, Budi pun menyetujuinya. Pada Maret 2011 diadakan pertemuan di PT HK untuk membahas draf anggaran biaya lelang yang di dalamnya sudah memuat biaya yang akan diberikan ke pihak pemilik proyek (arranger fee).
Jaksa menilai perbuatan Budi melanggar Pasal 2 ayat (1) atau Pasal 3 jo Pasal 18 Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi sebagaimana telah diubah dengan UU Nomor 20 Tahun 2001 jo Pasal 55 Ayat (1) ke-1 jo Pasal 65 Ayat 1 KUHP.
Atas dakwaan tersebut, Budi tidak mengajukan nota keberatan atau eksepsi. Hakim menyetujuinya dan sidang lanjutan akan digelar pada 27 Maret 2019. (MELATI MEWANGI)