"Heart of Borneo" Peluang bagi Jasa Wisata Perjalanan Domestik
JAKARTA, KOMPAS – Indonesia mulai menggarap ekowisata di Kalimantan sebagai cross border tourism atau pariwisata lintas batas melalui kampanye Heart of Borneo (HoB). Hal itu akan menjadi peluang bagi industri wisata perjalanan dalam negeri.
Salah satunya adalah Kompakh Adventure, yang merupakan penyedia jasa perjalanan ekowisata di wilayah Kalimantan Barat. Menurut Kepala Divisi Bisnis Kompakh Bona Ventura, ekowisata di lintas batas paling banyak diminati wisatawan mancanegara.
Tahun 2018, wisatawan mancanegara mengikuti ekowisata itu sebanyak 70 orang hingga 100 orang, sedangkan wisatawan domestik hanya 10 orang. Jumlah tersebut naik dibanding dengan 2017 yang hanya 49 wisatawan mancanegara dan lima wisatawan domestik.
“Selama ini kami berpromosi sendiri. Tentu saja promosi itu masih terbatas. Apalagi pasar pariwisata ini memang untuk wisawatan dengan minat khusus,” kata Bona kepada Kompas, Rabu (20/3/2019).
Dengan adanya program HoB, Bona berharap bisa menarik lebih banyak lagi wisatawan. Kompakh merupakan ekowisata bersifat adventure sehingga membutuhkan kemampuan khusus, baik dari pemandu hingga operasional.
Program HoB dicetuskan tiga negara, yaitu Indonesia, Malaysia, dan Brunei Darussalam. Tujuannya adalah mengembangkan pariwisata tiga wilayah dalam satu pulau.
Total luas pulau Borneo adalah 23 juta hektar (ha), seluas 16 juta ha lebih adalah wilayah Kalimantan, 6 juta ha wilayah Malaysia, dan sekitar 400.000 ha milik Brunei Darussalam.
Bona menjelaskan wisata yang ditawarkan bukan hanya petualangan tetapi juga pengalaman. Memperkenalkan budaya, adat, dan keindahan alam adalah daya tarik utama bagi wisatawan mancanegara.
Terkadang jika beruntung wisatawan bisa menyaksikan upacara yang diadakan oleh masyarakat lokal.
“Agenda kegiatan tahunan sudah ada. Kami juga sudah punya destinasi yang ditawarkan. Kami berharap pemerintah membantu dari segi regulasi tranportasi dan promosi. Kabupaten Kapuas hulu belum ada transportasi umum yang memadai, mau gak mau akhirnya harus pakai mobil pribadi, itu yang bikin biayanya tinggi,” kata Bona.
Baca juga: Indonesia Kembangkan Ekowisata Lintas Batas Tiga Negara
Biaya mahal
Bona menuturkan, untuk berpindah dari satu destinasi ke destinasi lainnya membutuhkan waktu yang cukup lama, yaitu antara tiga hingga empat jam dengan mobil. Apabila menggunakan kapal cepat, ada yang sampai satu hari, sehingga semakin membuat biaya operasional mahal.
“Perjalanan dengan mobil dengan waktu sekitar empat jam atau 120 kilometer biayanya sudah Rp 1,2 juta. Speed boat bisa lebih mahal karena dihitung ketinggian air dan arusnya,” terang Bona.
Bona menambahkan, hal itu berpengaruh terhadap paket-paket yang ditawarkan. Paket paling murah sekitar Rp 4 juta dengan durasi tiga hari dua malam, sementara untuk paket paling mahal sekitar Rp 24 juta dengan durasi 12 hari 11 malam.
Perjalanan dengan mobil dengan waktu sekitar empat jam atau 120 kilometer biayanya sudah Rp 1,2 juta. Speed boat bisa lebih mahal karena dihitung ketinggian air dan arusnya.
Berdasarkan data dari Dinas Pariwisata Kalimantan Barat, setiap tahun kunjungn wisatawan ke Kapuas Hulu meningkat. Tahun 2017 total wisatawan asing dan domestik sebanyak 12.886 orang.
Pada 2018, jumlah total wisatawan naik menjadi 19.907 wisatawan. Pada tahun itu, wisatawan mancanegara masih mendominasi, yaitu 10.978 orang, sedangkan wisatawan domestik 8.929 orang.
Sementara itu, General Manager “Wow Borneo” Gaye Thavisin menjelaskan, area yang termasuk dalam HoB sebagian besar merupakan kawasan konservasi yang dilindungi dan sulit diakses. Namun, kawasan itu masih alami dan memiliki keanekaragaman hayati yang terkenal di Kalimantan.
"Hal itu tentu saja akan menarik wisatawan petualang mencari pengalaman unik yang tak banyak dilakukan oleh wisatawan kebanyakan. Eksklusivitas ini akan menjadi nilai jual," kata dia.
Menurut Gaye, sasarannya adalah para petualang dan penelusur alam. Paket yang ditawarkan antara lain seperti mengamati burung, melihat binatang endemik Kalimantan yang langka dan indah, mendaki puncak pegunungan, dan susur sungai.
Ada juga paket menginap di pondok-pondok alam mewah. Lokasinya berada di area-area dengan keindahan langka. “Harga paket akan sangat bervariasi tergantung paket yang dipilih, seperti wisata penelusuran atau menginap di penginapan mewah,” ujar Gaye.
Tantangan kelestarian
Selain itu, lanjut Gaye, tantangan utama ekowisata di Taman Nasional Tanjung Putting itu adalah isolasi dan kesulitan akses. Selain itu, degradasi dabn kebakaran hutan dapat secara serius mempengaruhi jumlah wisatawan, sehingga penting untuk tetap menjaga kemurnian hutan
Taman Nasional Tanjung Puting dikunjungi hampir 30.000 pengunjung pada 2018. Jumlah pengunjung itu dua kali lipat dari jumlah pengunjung 2014. Sekitar dua pertiga dari jumlah itu merupakan wisatawan mancanegara, sedangkan sepertiganya wisatawan domestik.
“Turis asing yang minat berwisata ke daerah-daerah alami biasanya berasal dari Amerika Utara, Eropa, Australia, dan Selandia Baru,” imbuh dia.
Tantangan utama ekowisata di Taman Nasional Tanjung Putting itu adalah isolasi dan kesulitan akses. Selain itu, degradasi dabn kebakaran hutan dapat secara serius mempengaruhi jumlah wisatawan.
Pengamat pariwisata Sapta Nirwandar mengatakan, peluang bisnis untuk mengembangkan ekowisata di wilayah lintas batas Kalimantan menjanjikan. Sebab, ekowisata mempunyai pasar berbeda yang utamanya adalah wisatawan dengan minat khusus.
Wisatawan yang mempunyai minat terhadap keindahan alam hutan tropis, merasakan pengalaman menyaksikan keberagaman flora, fauna, dan pemandangan alam lain merupakan wisatawan mancanegara.
“Memang biaya ekowisata sendiri tidak murah, yaitu menjual pengalaman hidup di alam yang jauh dari perkotaan sehingga lokasinya memang jauh, tetapi akan sebanding jika bisa menyasar banyak wisatawan mancanegara,” ujar Sapta.
Kendati begitu, lanjut Sapta, ada beberapa hal yang perlu diperhatikan untuk mengembangkan ekowisata lintas batas, diantaranya aktivasi dan promosi. Aktivasi berarti mendidik masyarakat lokal, sehingga dapat diberdayakan.
Misalnya, untuk pemandu ekowisata perlu kemampuan untuk menjelaskan dan memberi pengetahuan tentang alam kepada wisatawan. Langkah itu perlu diikuti dengan perbaikan pelayanan seperti hotel, homestay, transportasi, dan promosi.
Jika tertata dan terencana dengan baik, upaya itu akan menciptakan peluang ke industri jasa wisata perjalanan. Untuk itu, sinergi antara pemerintah pusat, pemerintah daerah, pelaku bisnis, masyarakat, dan institusi pendidikan untuk membuat kebijakan yang komprehensif, diperlukan.
"Selama ini, Indonesia lebih banyak berkonsentrasi mengembangkan pariwisata di luar Kalimantan. Padahal ikon seperti orangutan di Tanjung Putting bisa dikembangkan lebih lanjut,” kata Sapta. (FRANSISCA NATALIA ANGGRAENI)