Heryawan dan Deddy Tak Mengetahui Aliran Dana ke Pemprov Jabar
Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan mantan Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar menghadiri sidang perkara dugaan suap proyek perizinan Meikarta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Rabu (20/3/2019).
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS – Mantan Gubernur Jawa Barat Ahmad Heryawan dan mantan Wakil Gubernur Jabar Deddy Mizwar menghadiri sidang perkara dugaan suap proyek perizinan Meikarta di Pengadilan Tindak Pidana Korupsi Bandung, Rabu (20/3/2019). Keduanya menjadi saksi untuk terdakwa Bupati Bekasi (nonaktif) Neneng Hasanah Yasin.
Neneng bersama sejumlah pejabat lainnya di Pemerintah Kabupaten Bekasi diduga menerima suap sebesar Rp 16,18 miliar dalam kasus itu. Diduga, suap juga mengalir ke pejabat di Pemerintah Provinsi Jabar.
Dalam dakwaan disebutkan, Sekretaris Daerah Provinsi Jabar Iwa Karniwa menerima Rp 1 miliar. Namun, Iwa membantah hal itu dalam persidangan sebelumnya dengan terdakwa Billy Sindoro. Billy ditugaskan PT Lippo Cikarang untuk mengurus perizinan proyek Meikarta.
Sementara, Kepala Seksi Pemanfaatan Ruang pada Bidang Penataan Ruang Dinas Bina Marga dan Penataan Ruang Jabar Yani Firman diduga menerima 90.000 dolar Singapura.
Majelis hakim bertanya kepada Heryawan terkait aliran suap tersebut. “Bapak tahu enggak ada anggota bapak yang menerima uang terkait perizinan Meikarta?” ujar hakim Lindawati.
“Memang, ada yang mengurus perizinan Meikarta. Namun, bahwa mereka menerima uang, saya tidak tahu,” ujar Heryawan.
Heryawan mengaku pernah bertemu dengan Neneng di Rusia saat memenuhi undangan Kementerian Perdagangan RI pada September 2017. Keduanya sempat membicarakan proyek pembangunan Meikarta. Salah satunya terkait perlu tidaknya rekomendasi dari gubernur.
Hal yang sama juga disampaikan Deddy. Dia tidak mengetahui adanya aliran dana ke pejabat di Pemprov Jabar. Mantan Direktur Jenderal Otonomi Daerah Kementerian Dalam Negeri Soni Sumarsono juga dihadirkan sebagai saksi dalam sidang tersebut.
Deddy mengaku pernah meminta agar pembangunan proyek Meikarta dihentikan. Menurut dia, pembangunan kawasan dengan total luas 438 hektar itu memerlukan rekomendasi dari gubernur.
Dalam Peraturan Daerah Provinsi Jabar Nomor 12 Tahun 2004, Kecamatan Cikarang Selatan yang merupakan lokasi pembangunan proyek Meikarta termasuk dalam wilayah metropolitan Bodebekarpur (Bogor, Depok, Bekasi, Karawang, Purwakarta). Dalam Perda itu, metropolitan diartikan sebagai kesatuan wilayah perkotaan dengan aglomerasi penduduk minimal satu juta jiwa.
“Lippo (Meikarta) ini seperti negara dalam negara. Mau membangun hampir 500 hektar dengan dua juta jiwa tanpa ada rekomendasi. Apa kata dunia?” ujar Deddy.
Deddy mengatakan, Pemprov Jabar memberikan rekomendasi ke Meikarta untuk pembangunan seluas 84,6 hektar. Namun, pihaknya menolak memberikan rekomendasi untuk pembangunan dengan total luas 438 hektar.
“Yang sesuai tata ruang itu hanya 84,6 hektar. Sisanya tidak diperuntukkan membangun perumahan. Jadi, kalau ingin tetap membangun, tinggal urus perubahan tata ruang,” ujarnya.
Deddy mengatakan, saat itu pihaknya bukannya anti investasi. Namun, investasi pembangunan harus tetap mengacu pada peraturan.
Deddy mengaku pernah menyampaikan masalah perizinan Meikarta itu kepada Presiden Joko Widodo saat berkunjung ke Muara Gembong, Bekasi, dua tahun lalu. “Saat itu, Pak Jokowi bilang harus sesuai prosedur dan peraturan. Tentu saya setuju,” ujarnya.
Proyek Meikarta merupakan pembangunan kawasan komersil, meliputi apartemen, pusat perbelanjaan, rumah sakit, hotel, perumahan, dan perkantoran di Desa Cibatu, Cikarang Selatan, Kabupaten Bekasi. Pembangunan di lahan seluas total 438 hektar itu dibagi menjadi tiga tahap.
Neneng didakwa menerima suap untuk mempermudah pengurusan izin bagi PT Lippo Cikarang Tbk melalui PT Mahkota Sentosa Utama yang mengurus perizinan proyek Meikarta. Neneng didakwa menerima Rp 10,83 miliar dan 90.000 dolar Singapura.
Dalam dakwaan kesatu, disebutkan perbuatan terdakwa diancam pidana menurut Pasal 12 huruf a Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi juncto Pasal 55 Ayat (1) Ke-1 KUHP.
Dakwaan kedua yaitu Pasal 12 huruf b dengan undang-undang yang sama. Ancaman ancaman hukumannya yakni pidana penjara paling singkat empat tahun dan paling lama 20 tahun.