Integrasi Basis Data Penahanan Atasi Masalah "Overstay"
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS - Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia serta lembaga penegak hukum dituntut berkomitmen untuk memanfaatkan sistem data terintegrasi untuk mengatasi masalah tahanan overstay. Hal itu perlu dilakukan selain menyusun aturan bersama pengembalian tahanan yang sudah melewati masa penahanan atau overstay.
Rekomendasi itu mengemuka dalam diskusi kelompok terarah Mahkamah Agung, Kementerian Hukum dan HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian (Mahkumjakpol), di Kantor Direktur Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas), Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Acara itu dihadiri berbagai pihak dari Ditjen Pas, perwakilan Mahkamah Agung RI, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Ombudsman RI.
Direktur Hukum dan Regulasi Bappenas Prahesti Pandanwangi mengatakan, pemerintah sebelumnya sudah membuat Sistem Database Penanganan Perkara Tindak Pidana Secara Terpadu Berbasis Teknologi Informasi (SPPT-TI).
"Setiap komponen aparat penegak hukum memang sudah punya sistem data masing-masing, tapi belum bisa diintegrasikan," kata dia.
Menurut Prahesti, dengan membuat sistem data terintegrasi, masing-masing lembaga penegak hukum bisa saling bertukar informasi dan menentukan penanganan hukum yang sesuai kebutuhan dan kondisi. Secara tidak langsung, upaya ini bisa membantu Ditjen Pas mengurangi tahanan yang overstay, karena belum dilanjutkannya putusan penahanan oleh penegak hukum.
"Contoh, ketika polisi mau menahan tersangka, bisa cek dulu kondisi rutan yang dikelola Ditjen Pas, penuh atau tidak. Kalau penuh, polisi bisa menggunakan alternatif penyelesaian sengketa selain dengan hukuman penahanan di rutan atau lapas," tuturnya.
Sayangnya, sejak Pedoman Kerja Pelaksanaan SPPT TI semua lembaga penegak hukum ditandatangani pada 2017, data yang bisa dipertukarkan masih terbatas.
"Mindset aparat penegak hukum untuk mengumpulkan data administrasi penanganan perkara ini kami temui masih terbatas. Namun, hal ini kita coba dorong dengan mengajarkan cara mengumpulkan data penanganan perkara. Saat ini, pemahaman mereka baru pada level perkara yang ringkas, belum selevel perkara korupsi, terorisme, pelanggaran HAM, dan sebagainya," kata dia.
Menyusun SOP
Selain menguatkan sistem database terintegrasi, peserta diskusi itu juga menyepakati penyusunan prosedur standar operasional (SOP) terkait dengan
pengembalian tahanan overstay. Langkah ini disepakati akan dijalankan maksimal dua bulan setelah diskusi hari ini.
Keputusan itu ditegaskan Ombudsman RI, yang diwakili Adrianus Meliala, pada acara tersebut. Menurutnya, harus ada komitmen tegas dari Ditjen Pas dan lembaga penegak hukum untuk mengatasi masalah overstay tersebut. Hal ini penting mengingat keputusan bersama pernah dibuat lembaga-lembaga tersebut pada 2010 belum juga dijalankan.
"Peraturan bersama pernah dibuat pada 2010, yang salah satunya membahas masalah overstay, tetapi tahun 2019 masih ada. Padahal, kalau kita ikuti matriks permasalahan yang diungkapkan pada saat itu, sudah jelas apa yang jadi poin vokalnya dan bagaimana persebaran tanggung jawabnya," kata Adrianus.
Spesialis Penelitian dan Pengkajian Sistem KPK, Deni Rifky Purwana, mengatakan, penyusunan SOP penting untuk mencegah peluang korupsi atas kebebasan kewenangan atau diskresi kepala rutan atau lapas dalam melepaskan tahanan yang overstay.
Diskresi adalah faktor utama kerentanan korupsi
Sebagaimana diatur dalam Pasal 19 ayat 7 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHAP), kepala rutan dan lapas harus membebaskan tahanan yang telah melebihi masa penahanan demi hukum.
"Kepala rutan dan lapas selama ini harus mengambil diskresi, harus ambil risiko agar tidak terkena pidana. Menurut analisis KPK, diskresi adalah faktor utama kerentanan korupsi, karena adanya risiko cenderung mendorong adanya penyeimbang dalam bentuk keuntungan," tuturnya.
Berdasarkan data Ditjen Pas pada 19 Maret 2019, ada 37.080 tahanan overstay. Sebagian besar tahanan, yakni 22.224 orang dilimpahkan dari pengadilan negeri. Sisanya terdiri dari 6.581 orang tahanan kejaksaan, 4.858 orang tahanan kepolisian, 2.355 tahanan pengadilan tinggi, dan 1.062 tahanan mahkamah agung.
Banyaknya tahanan overstay turut menyumbang kepadatan di rutan atau lapas. Menurut Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami, kondisi ini juga meningkatkan potensi gangguan ketertiban dan keamanan. Bahkan, Ditjen Pas harus menanggung beban hingga Rp 15 miliar per bulan, setidaknya untuk biaya makan para tahanan. (ERIKA KURNIA)