Jurnalis Jangan Terjebak Politik Identitas dalam Pemberitaan Pemilu
Oleh
Cokorda Yudistira
·3 menit baca
BADUNG, KOMPAS – Penerapan prinsip jurnalistik menjadi penting bagi jurnalis dalam setiap peliputan dan pemberitaan, termasuk pemberitaan pemilu. Jurnalis diingatkan agar tidak ikut terperangkap politik identitas yang dimanfaatkan dan dieksploitasi politisi demi kepentingan memperoleh suara dalam pemilu.
Hal itu disampaikan Direktur Serikat Jurnalis untuk Keberagaman (Sejuk) Ahmad Junaidi dalam lokakarya jurnalistik dan seminar regional Asia Tenggara di Nusa Dua, Kabupaten Badung, Bali, Rabu (20/3/2019). Seminar dan lokakarya mengangkat tema “Hubungan Antara Kebebasan Beragama atau Berkeyakinan dan Kebebasan Berekspresi di Asia Tenggara (The Nexus Between Freedom of Religion or Belief and Freedom of Expression in Southeast Asia)”.
Lebih lanjut Junaidi menyatakan, prinsip-prinsip jurnalistik, misalnya, kewajiban kepada kebenaran, independen, berimbang, dan berdisiplin pada verifikasi, harus menjadi pegangan jurnalis. Junaidi menambahkan, jurnalis perlu menyiapkan dirinya mulai sebelum meliput, saat meliput, maupun ketika melaporkan hasil liputannya.
“Sejak setahun terakhir, kami dari Sejuk sudah mengingatkan agar jurnalis berhati-hati dengan politisi yang memanipulasi isu-isu identitas dalam tahun politik,” kata Junaidi. “Jangan memilih politisi yang asal ngomong dengan memanfaatkan isu agama, isu etnis, maupun isu identitas lainnya yang mungkin dapat memojokkan kalangan minoritas maupun kalangan masyarakat yang terpinggirkan,” ujar Junaidi yang juga editor The Jakarta Post.
Sejak setahun terakhir, kami dari Sejuk sudah mengingatkan agar jurnalis berhati-hati dengan politisi yang memanipulasi isu-isu identitas dalam tahun politik. (Junaidi)
Lokakarya jurnalistik regional Asia Tenggara yang diikuti jurnalis, pegiat hak asasi manusia, dan akademisi dari kawasan Asia Tenggara, India, dan Timor Leste, dimulai Senin (18/3). Dalam lokakarya juga diungkapkan pengalaman jurnalis dan pegiat HAM yang meliput peristiwa konflik di negaranya maupun berlangsungnya diskriminasi atau ancaman terhadap kalangan minoritas atau terhadap kebebasan berekspresi di negaranya.
Adapun lokakarya jurnalis dan seminar regional itu diselenggarakan Sejuk bersama The International Association of Religion Journalists (IARJ) dan Institute of Peace and Democracy (IPD) Universitas Udayana, Bali. Seminar dan lokakarya jurnalistik itu, antara lain, bertujuan menguatkan pemahaman dan keterampilan jurnalis dalam memberitakan isu keberagaman, termasuk perihal menguatnya politik identitas yang dapat berdampak terhadap pelanggaran HAM, pemojokan kelompok minoritas, dan kriminalisasi terhadap jurnalis.
Dalam sesi diskusi panel tentang “Berbagi tentang Diskriminasi”, pegiat bidang kesehatan dan hak asasi manusia Kevin Halim mengatakan, jurnalis dan media massa berperan menginformasikan perihal kesetaraan kalangan lesbian, gay, biseksual, transgender, dan queer sebagai bagian dari masyarakat sehingga masyarakat mengenal dan mengerti keberadaan mereka. “Jurnalis perlu mempunyai kepekaan dalam pemberitaan tentang kelompok-kelompok minoritas,” ujar Kevin yang aktif di organisasi masyarakat berbasis komunitas Gaya Warna Lentera Indonesia (GWL-Ina).
Berbicara dalam sesi diskusi bertemakan “Peran Media Dalam Memberitakan Konflik Berlatar Sentimen Identitas”, Direktur Eksekutif IARJ Endy Bayuni menyatakan peningkatan kapasitas jurnalistik melalui pelatihan mengenai isu kemanusiaan, keberagaman, dan perdamaian, tidak hanya diberikan kepada jurnalis namun juga bagi para penentu kebijakan pemberitaan di news room. “Sehingga ada pemahaman antara jurnalis yang meliput dan policy maker di news room yang memutuskan pemuatan berita,” ujar Endy yang menjabat senior editor di The Jakarta Post.