BANDUNG, KOMPAS — Kesadaran akan hak-hak konsumen di masyarakat dinilai masih perlu ditingkatkan. Oleh karena itu, edukasi kepada konsumen tetap perlu, sementara produsen didorong memenuhi komitmennya.
Menteri Perdagangan Enggartiasto Lukita di Bandung, Jawa Barat, Selasa (19/3/2019), menyatakan, konsumen di Indonesia masih belum banyak yang mengadu jika produk yang dibeli tidak sesuai dengan harapan. Oleh karena itu, warga harus diberdayakan sehingga bisa mengetahui hak-hak konsumennya.
Ada dua hal yang perlu diperhatikan, yaitu dari sisi produsen dan konsumen. ”Konsumen harus diedukasi, sementara produsen dan penjual harus bertanggung jawab dengan produk yang dijual. Mereka harus berusaha memenuhi janji dan komitmennya, di antaranya terkait kualitas barang yang dijual,” tuturnya saat ditemui di sela-sela pembukaan Hari Konsumen Nasional (Harkonas) Ke-7.
Kepala Badan Perlindungan Konsumen Nasional Ardiansyah Parman menambahkan, kesadaran masyarakat akan perlindungan konsumen semakin tinggi seiring meningkatnya laporan yang masuk. Menurut dia, pengaduan yang masuk lebih dari 400 laporan tahun 2018, sedangkan tahun sebelumnya hanya sekitar 100 pengaduan.
”Untuk tahun ini, saya memprediksi sampai lebih dari 500 aduan yang masuk. Peningkatan ini bukan berarti pelayanan terhadap konsumen semakin buruk, tetapi lebih kepada masyarakat yang mulai berani mengadu saat hak-haknya tidak dipenuhi penjual,” ujarnya.
Ardiansyah memaparkan, dari lima tingkatan kesadaran konsumen, warga Indonesia masih menempati kelas ketiga. Kelas pertama masih dalam tingkatan tahu, kelas dua masuk tingkatan paham, dan di kelas tiga masyarakat sudah mampu memberikan laporan. Warga belum masuk ke kelas empat, yaitu kritis, serta kelas lima, yaitu berdaya dalam memberikan suara dan timbal balik kepada produsen terkait produk yang dijual.
Saat ini, lanjutnya, Indeks Keberdayaan Konsumen di Indonesia masih sekitar 40 dari skor total 100. Oleh karena itu, pemberdayaan konsumen masih perlu dilakukan. ”Kalau sudah mencapai kelas tiga, masyarakat sudah mengetahui hak-hak konsumen dan bersedia mengadu kepada instansi terkait. Namun, masih belum kritis, apalagi berdaya,” ujarnya.
Di Jawa Barat, Balai Penyelesaian Sengketa Konsumen mencapai 17 lembaga pengadilan di 17 daerah. Gubernur Jawa Barat Ridwan Kamil menyampaikan, lembaga-lembaga ini dibentuk dengan harapan hak-hak konsumen masyarakat bisa dipenuhi.
”Populasi Jabar terbesar di Indonesia, hampir 50 juta jiwa. Mudah-mudahan ekonomi Indonesia akan luar biasa kalau konsumennya berdaya,” katanya.
Kamil menyebut, warga Jabar mulai beralih tren dalam membeli barang, dari konvensional ke penjualan daring melalui media sosial dan perdagangan elektrik (e-commerce). Karena itu, jaminan perlindungan konsumen diperlukan karena tidak semua perusahaan bisa memberikan kualitas yang sesuai dengan yang ditawarkan.
”Kalau produsen besar, saya yakin akan kualitasnya. Tetapi, kalau masih berupa usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM), perlu kami beri penyadaran agar mereka menyadari hak-hak konsumen,” ujarnya.
Sinergi
Perkembangan aktivitas perdagangan pada era digital ini juga memerlukan sinergi antarsektor. Ardiansyah berujar, sinergi dilakukan dengan peran aktif dari berbagai aspek terkait produk yang ditawarkan, seperti transportasi daring.
Menurut dia, sektor yang bertanggung jawab terhadap hak konsumen bukan hanya Kementerian Perhubungan. Masih ada banyak sektor, seperti keuangan digital, yang diawasi oleh Otoritas Jasa Keuangan hingga perkembangan aplikasi yang menjadi wewenang Kementerian Komunikasi dan Informatika.