Miliki Tubuh dan Jiwa yang Sehat agar Dapat Berpikir Logis
JAKARTA, KOMPAS — Orang muda didorong untuk aktif terlibat dalam meningkatkan kualitas kesehatan fisik dan mental. Mereka memiliki peranan besar dalam pembangunan di masa depan sehingga perlu memiliki tubuh dan jiwa yang sehat agar dapat berpikir secara logis.
Berdasarkan data Bank Dunia 2017, generasi muda di seluruh dunia berusia 10-24 tahun mencapai 1,8 miliar orang dan menjadi populasi terbesar. Bonus demografi diperkirakan terjadi di Asia Tenggara pada 2020-2030 dengan jumlah usia produktif sekitar 70 persen.
Data Badan Pusat Statistik 2015 menyebutkan, Indonesia memiliki lebih dari 63 juta pemuda atau 63 persen dari total populasi 238 juta. Terkait dengan persoalan bonus demografi yang akan terjadi di Indonesia, Menteri Kesehatan Nila Farid Moeloek, memberikan tanggapannya, Rabu (20/3/2019) di Jakarta.
“Kami ingin orang yang berada pada usia bonus demografi harus sehat dan mengerti tentang kesehatan. Mereka diharapkan menjadi agen perubahan yang mengerti bagaimana hidup sehat untuk mempertahankan negara kita dan dapat berpikir logis untuk menyiapkan ekonomi kita agar lebih baik lagi,” tutur Nila dalam acara South-East Asia Region (SEAR) Youth Town Hall, Rabu di Jakarta.
Acara acara SEAR Youth Town Hall diadakan sebagai bentuk komitmen untuk melibatkan pemuda dalam mewujudkan pembangunan berkelanjutan berdasarkan prinsip kesehatan dan kesejahteraan untuk semua.
Nila mengajak orang muda untuk mengubah pola pikir. Ia khawatir dengan orang muda yang tidak peduli pada kesehatan, sehingga banyak terjadi masalah kesehatan yang seharusnya dapat dicegah, seperti kecelakaan lalu lintas, penyakit akibat rokok, penyakit mental, dan lain-lain.
Pada masa sekarang, pola pikir orangtua juga perlu dirubah. Di zaman perkembangan teknologi digital yang membuat orang mudah untuk mengakses informasi, orangtua perlu mendengarkan apa yang diinginkan anaknya.
Menurut Nila, orangtua perlu berkomunikasi secara intens dengan anaknya sehingga dapat saling terbuka. Ia berharap agar membicarakan sesuatu yang sensitif seperti permasalahan seksualitas yang sering dialami orang muda tidak lagi dianggap tabu. Keterbukaan tersebut akan membuat orang muda memiliki wawasan yang dapat membuatnya lebih dewasa dalam bertindak.
Dengan cara itu, mereka dapat terhindar dari dampak negatif kebiasaan melihat pornografi. Mereka juga dapat menghindari pernikahan muda saat mereka masih belum siap secara fisik dan mental.
Regional Director World Health Organization South-East Asia Poonam Khetrapal Singh mengatakan, orang muda perlu dilibatkan dalam pengambilan kebijakan terkait kesehatan. “Mereka menjadi agen penting dan berperan besar untuk mengirimkan pesan kesehatan,” kata Poonam.
Menurut Poonam, pada 2016 ada 1,1 juta remaja Asia Tenggara meninggal karena penyakit yang dapat diobati. Kecelakaan lalu lintas berkontribusi paling besar dalam kematian tersebut.
Kecelakaan lalu lintas
Di Indonesia, kecelakaan lalu-lintas paling banyak juga dialami orang muda. Data Riset Kesehatan Dasar (Riskesdas) 2018 menyebutkan, proporsi kecelakaan saat mengendarai sepeda motor tertinggi ada pada kelompok usia 15-24 tahun yakni sebesar 79,4 persen dan pada umur 25-34 tahun sebesar 82,5 persen.
Bunuh diri juga menjadi salah satu faktor penyebab kematian orang muda. Mereka melakukannya karena faktor emosional.
“Mereka perlu berhati-hati dan hargai hidup mereka sehingga jangan mudah cepat menyerah,” kata Poonam. Karena itu, orang tua perlu bermitra dengan generasi muda untuk memahami kebutuhan mereka.
Suicidolog dan Pendiri Komunitas Into The Light Benny Prawira Siauw mengatakan, sebagian besar orang muda bunuh diri karena gangguan psikis. Mereka depresi karena masalah kemiskinan, penanganan bencana yang kurang baik, kurangnya aktivitas, dan obesitas.
“Sebagian besar dari mereka masih berumur 15 sampai 19 tahun,” kata Benny. Menurut Benny, untuk mengatasi persoalan ini diperlukan pendekatan secara personal dengan mendengarkan suara dari orang muda.
Rokok
Kebiasaan merokok pada masa remaja turut berpengaruh pada buruknya kualitas kesehatan pada orang muda. Berdasarkan Riskesdas 2018, prevalensi merokok di usia 10-18 tahun sebesar 9,1 persen dan semakin menjauh dari target Rencana Pembangunan Jangka Menengah Nasional (RPJMN) 2019 yakni 5,4 persen.
Nila mengatakan, rokok hanya menguntungkan secara bisnis, tetapi merugikan banyak orang mulai dari anak-anak hingga orang tua. Ia berharap seluruh pemangku kepentingan perlu melihat dampak negatif dari rokok secara keseluruhan.
“Jika banyak orang menderita penyakit akibat rokok, maka banyak biaya yang harus dikeluarkan untuk kesehatan. Bahkan, biaya tersebut dapat lebih banyak dari keuntungan dari penjualan rokok,” kata Nila.
Selain itu, murahnya harga rokok di Indonesia akan dimanfaatkan oleh sejumlah orang untuk menyelundupkan rokok ke luar negeri.
Phonam mengatakan, WHO telah melakukan advokasi untuk orang muda terkait rokok dan obat-obatan terlarang. WHO selalu memperingatkan anak-anak bahaya merokok.
Salah satu usaha untuk mencegah anak-anak merokok, yaitu dengan tidak menjual rokok di sekitar sekolah. WHO juga telah melarang menjual rokok eceran agar anak-anak tidak mudah membeli rokok.
WHO juga selalu mendorong agar pemerintah menaikkan pajak rokok. “Dengan harga rokok yang mahal, anak-anak tidak akan menggunakan uang sakunya untuk membeli rokok,” kata Phonam.
Selain rokok tembakau, Phonam menghimbau agar orang muda menghindari rokok elektrik. Ia mengatakan, rokok elektrik juga memiliki kandungan nikotin yang berbahaya untuk kesehatan.