Di antara warga yang berolahraga di Alun-alun Selatan Yogyakarta, perempuan itu berjalan terbungkuk-bungkuk. Kakinya bergerak sangat perlahan, nyaris seperti diseret. Tubuh rentanya tak lagi sanggup berdiri tegak, tapi tangannya terus mendorong walker atau alat bantu jalan dengan roda di bagian depan.
Oleh
HARIS FIRDAUS
·5 menit baca
Di antara warga yang berolahraga di Alun-alun Selatan Yogyakarta, perempuan itu berjalan terbungkuk-bungkuk. Kakinya bergerak sangat perlahan, nyaris seperti diseret. Tubuh rentanya tak lagi sanggup berdiri tegak, tapi tangannya terus mendorong walker atau alat bantu jalan dengan roda di bagian depan.
Namanya Ngatiyem, tapi kadang ia dipanggil Mbah Kerto, mengikuti nama suaminya yang telah lama berpulang. Keluarganya tak tahu pasti berapa usia Ngatiyem karena tak ada dokumen kependudukan yang bisa menjelaskan kapan dia lahir.
Namun, saat ditanya berapa umurnya, Ngatiyem dengan yakin menjawab 110 tahun, sambil mengisahkan pengalaman masa kecilnya menyaksikan hujan abu dari Gunung Merapi.
"Seratus sepuluh. Udan awu ping dua (hujan abu dua kali) pas saya umur sepuluh tahun," tutur Ngatiyem dengan bahasa Indonesia yang bercampur bahasa Jawa.
Meski usianya sudah sangat tua, Ngatiyem masih giat bekerja untuk memperoleh penghasilan. Minggu (10/3/2019) pagi, ia berjualan kerupuk di Alun-alun Selatan Yogyakarta. Sejak sekitar pukul 06.30, Ngatiyem duduk di salah satu pot tanaman di Alun-alun Selatan sambil menawarkan kerupuk jualannya. Bungkus-bungkus kerupuk itu digantung pada walker yang dipakai Ngatiyem.
Sejumlah warga yang hilir-mudik di sekitar Alun-alun Selatan pun tergerak membeli kerupuk yang dijual Rp 10.000 per bungkus itu. Saat kerupuk dagangannya mulai menipis, Ngatiyem berjalan pelan dengan tubuh membungkuk. Ia hendak menawarkan dagangannya ke tempat lain.
Namun, baru berjalan beberapa langkah, Ngatiyem kembali kedatangan pembeli.
Akhirnya, ia duduk lagi di pot tanaman tak jauh dari tempat mangkalnya yang pertama. Tak lama kemudian, kerupuk Ngatiyem pun ludes terjual. Pagi itu, sekitar 20 bungkus kerupuk yang dijual Ngatiyem habis dalam waktu kurang dari 1 jam. Lalu, sekitar pukul 07.30, perempuan lanjut usia (lansia) itu naik becak motor langganannya untuk pulang ke rumah.
Karena suaminya telah meninggal dan ia tak memiliki anak, Ngatiyem kini tinggal di rumah kerabatnya yang bernama Rujinem (52) di Dusun Kweni, Desa Panggungharjo, Kecamatan Sewon, Kabupaten Bantul, Daerah Istimewa Yogyakarta (DIY). Rujinem merupakan cucu dari kakak Ngatiyem. Sejak bertahun-tahun lalu, Rujinem dan keluarganyalah yang merawat Ngatiyem.
Ngatiyem menceritakan, dulu saat tubuhnya masih kuat, ia berjualan pakaian di emperen toko di lantai tiga Pasar Beringharjo, Yogyakarta. Namun, setelah tubuhnya kian lemah dan kakinya tak lagi sanggup mendaki anak tangga, Ngatiyem tak lagi berjualan di pasar.
Rujinem menuturkan, saat masih berjualan di Pasar Beringharjo, Ngatiyem sering menginap di pasar dan jarang pulang ke rumah. Namun, suatu saat, ia terjaring razia gelandangan yang dilakukan petugas pemerintah. Waktu itu, Ngatiyem sempat dibawa ke panti sosial, tetapi akhirnya dipulangkan ke rumah Rujinem.
Sejak saat itu, Ngatiyem merasa trauma sehingga ia akhirnya rutin pulang ke rumah Rujinem. "Sekarang ini takut digaruk (dirazia), makanya mau pulang," ujar Rujinem.
Bersikeras
Rujinem mengatakan, keluarga sebenarnya sudah melarang Ngatiyem untuk berjualan kerupuk karena tak tega melihat kondisi perempuan yang telah renta itu. Apalagi, meski bukan berasal dari golongan kaya, Rujinem dan suaminya masih mampu mencukupi kebutuhan Ngatiyem.
Sehari-hari, Rujinem bekerja sebagai pembantu rumah tangga, sementara suaminya bekerja serabutan. "Saya udah mengingatkan, mbok di rumah aja, wong sudah tua. Tiap hari juga saya sediakan makanan," ujar Rujinem.
Namun, Ngatiyem ternyata bersikeras terus berjualan kerupuk. Bila keluarganya melarang, Ngatiyem bakal marah-marah. Alhasil, setiap pagi, ia berangkat ke Alun-alun Selatan atau wilayah sekitarnya untuk berjualan kerupuk. Biasanya, ia diantar-jemput oleh sopir becak motor langganannya.
Saat ditanya kenapa ia masih berjualan di usia tua, Ngatiyem tak memberi jawaban yang jelas. Maklum, terkadang ia susah diajak berkomunikasi karena pendengarannya mulai terganggu. Menurut keluarganya, pendapatan Ngatiyem dari berjualan kerupuk itu rata-rata sekitar Rp 100.000 per hari. Uang dari hasil berjualan kerupuk itu tak semuanya dipakai untuk kepentingan pribadi Ngatiyem.
Selain dipakai lagi untuk modal berjualan, sebagian uang yang didapat Ngatiyem itu kadang dibagikan ke anak-anak kecil sekitar rumahnya. Terkadang, Ngatiyem juga membagi-bagikan kerupuk jualannya ke tukang bangunan atau sopir becak. "Simbok (Ngatiyem) itu loma (suka memberi), terutama pada anak kecil," ujar Rujinem.
Viral
Beberapa waktu lalu, kisah Ngatiyem mendadak viral atau tersebar luas di media sosial. Sejumlah pengguna Instagram, Twitter, dan Facebook membagikan video, foto, dan kisah tentang perjuangan Ngatiyem yang masih berjualan meski usianya telah lanjut.
Berdasarkan penelusuran Kompas, cerita viral tentang Ngatiyem itu bersumber dari Raden Sugiharto (35). Pria yang akrab dipanggil Egi itu merupakan pendiri komunitas Real Action Bandung yang kerap memberi donasi pada orang-orang yang kurang beruntung, termasuk para lansia.
Kamis (7/3/2019), saat tengah berlibur di Yogyakarta, Egi dan istrinya melintas di Alun-alun Selatan. Saat itulah mereka melihat Ngatiyem sedang berjualan kerupuk. Egi lalu menghampiri Ngatiyem dan memberikan donasi senilai Rp 300.000 dari kas Real Action Bandung.
"Sedih aja lihat mbahnya udah bungkuk tapi harus dorong-dorong gitu untuk jualan," kata pria yang sehari-hari bekerja sebagai psikolog di Bandung itu saat dihubungi Kompas, Sabtu (9/3/2019).
Setelah itu, Egi juga mengunggah foto, video, dan cerita tentang Ngatiyem di akun Instagram Real Action Bandung. Postingan Egi itu ternyata mendapat banyak tanggapan. Selain itu, sejumlah orang juga menghubungi Egi dan menyatakan keinginan untuk ikut memberi donasi kepada Ngatiyem.
Melihat banyaknya tanggapan itu, Egi akhirnya membuka kesempatan donasi secara terbuka. Sesudah diumumkan di akun Instagram Real Action Bandung, ajakan berdonasi itu mendapat sambutan luar biasa.
Dalam waktu kurang dari 5 jam, Egi berhasil mendapatkan donasi sebesar Rp 6.762.000. Donasi itu lalu diserahkan ke Ngatiyem dan keluarganya pada Jumat (8/3/2019). "Setelah saya posting, banyak yang mau nitip donasi untuk Mbah Ngatiyem. Donasi itu lalu saya anterin ke rumah mbah," ujar Egi.
Sesudah menerima donasi itu, keluarga sebenarnya meminta Ngatiyem untuk libur jualan kerupuk selama beberapa waktu. Namun, Ngatiyem ternyata terus berjualan. Di Alun-alun Selatan Yogyakarta, ia kembali mendorong roda walker yang membantunya berjalan sekaligus menjadi gerobak pembawa dagangan. Di alun-alun itu, Ngatiyem terus mendorong roda kehidupan...