Pencabutan Aturan Verifikasi CPO Dinilai Kurang Efektif
Oleh
hendriyo widi
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54 Tahun 2015 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap Ekspor Kelapa Sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya bertujuan untuk menyederhanakan proses dan meningkatkan efektivitas ekspor. Namun, sejumlah kalangan menilai, perlu ada tinjauan lebih jauh untuk mengefektifkan ekspor.
Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan (Permendag) ini tertuang dalam Permendag Nomor 17 Tahun 2019 tentang Pencabutan Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 54/M-Dag/Per/7/2015 tentang Verifikasi atau Penelusuran Teknis terhadap Ekspor Kelapa Sawit, Crude Palm Oil (CPO), dan Produk Turunannya.
Sebelumnya, pada Permendag 54 Tahun 2015 juncto Permendag 90 Tahun 2015, setiap pelaksanaan ekspor kelapa sawit, CPO, dan produk turunannya harus melakukan verifikasi atau penelusuran teknis yang dilakukan oleh surveyor sebelum muat barang. Verifikasi oleh surveyor meliputi verifikasi administratif dan fisik, penentuan jenis dan spesifikasi teknis, serta kualitas barang melalui analisa di laboratorium.
”Penerapan aturan ini berlaku secara umum bagi setiap negara. Dengan tidak adanya proses verifikasi, ekspor kelapa sawit beserta produk turunannya menjadi lebih sederhana dan dapat meningkatkan ekspor,” ujar Direktur Jenderal Perdagangan Luar Negeri Kementerian Perdagangan Oke Nurwan, saat dihubungi Kompas, Rabu (20/3/2019).
Meski demikian, sejumlah kalangan menilai, pemerintah perlu lebih cermat jika memang ingin mengefisiensikan proses ekspor. Sebab, melalui aturan ini akan ada sejumlah persoalan yang muncul.
Ketua Umum Dewan Minyak Sawit Indonesia Derom Bangun menyampaikan, upaya pemerintah ini tetap harus didukung. Penyederhanaan prosedur melalui pencabutan proses verifikasi dinilai merupakan upaya yang baik.
”Meski pemberlakuan aturan ini merupakan niat baik dari pemerintah, pemerintah perlu lebih cermat jika benar ingin mengefisiensikan ekspor CPO dan produk turunannya,” ujar Derom.
Ditemui secara terpisah, Sekretaris Jenderal Gabungan Pengusaha Kelapa Sawit Indonesia (Gapki) Kanya Lakshmi Sidarta mengatakan hal senada. Ia menyampaikan, ada kekhawatiran terkait pencabutan Permendag Nomor 54 Tahun 2015 yang secara tidak langsung akan menambah beban kerja Bea dan Cukai.
”Memang secara waktu, dengan tidak adanya proses verifikasi oleh surveyor, maka dapat menghemat hingga satu minggu. Namun, kekhawatiran kami adalah akan terjadi penumpukan di Bea dan Cukai jika tidak ada petugas tambahan,” kata Lakshmi.
Memang secara waktu, dengan tidak adanya proses verifikasi oleh surveyor, maka dapat menghemat hingga satu minggu. Namun, kekhawatiran kami adalah akan terjadi penumpukan di Bea dan Cukai jika tidak ada petugas tambahan.
Sebab, penelusuran teknis yang awalnya telah dilakukan surveyor, kini semua dibebankan kepada Bea dan Cukai. Maka, bukan hal yang tidak mungkin akan terjadi penumpukan di pelabuhan karena Bea dan Cukai harus memeriksa secara menyeluruh dan lebih rinci.
”Sejak diterapkan pada 28 Februari 2019, saya belum dengar keluhan dari pelaku usaha maupun pembeli. Mayoritas dari pemain besar tetap tidak mau mengubah pola selama ini, yaitu melakukan verifikasi oleh surveyor karena tahap itu tetap diminta oleh pembeli,” tutur Lakshmi.
Mayoritas dari pemain besar tetap tidak mau mengubah pola selama ini, yaitu melakukan verifikasi oleh surveyor karena tahap itu tetap diminta oleh pembeli.
Secara umum, Lakshmi menyatakan, sebenarnya perubahan aturan tidak terlalu berdampak karena para pembeli tetap mensyaratkan untuk menggunakan surveyor. Maka, ini merupakan pekerjaan bersama, mengapa para pembeli lebih percaya kepada surveyor dibandingkan pemerintah. (SHARON PATRICIA)