JAKARTA, KOMPAS — Pemerintah akan menindak tegas penyebar hoaks yang mengancam penyelenggaraan Pemilu 2019. Penyebaran konten yang dilakukan dengan tujuan agar masyarakat takut datang ke tempat pemungutan suara atau TPS akan dikategorikan sebagai aksi teror. Pelakunya akan dijerat dengan menggunakan Undang-Undang Antiterorisme.
Menteri Koordinator Politik, Hukum, dan Keamanan Wiranto, Rabu (20/3/2019), setelah memimpin rapat koordinasi kesiapan pengamanan Pemilu 2019 di Kantor Kemenko Polhukam, Jakarta, mengungkapkan hal tersebut. Rapat persiapan pengamanan pemilu dihadiri, antara lain, Panglima TNI Marsekal Hadi Tjahjanto, Kepala Kepolisian Negara RI Jenderal (Pol) Tito Karnavian, Ketua Komisi Pemilihan Umum (KPU) Arief Budiman, dan Ketua Badan Pengawas Pemilu (KPU) Abhan.
Rapat koordinasi secara tertutup itu juga diikuti secara telekonferensi oleh para penanggung jawab keamanan dan pemangku kepentingan Pemilu 2019 di 34 provinsi seluruh Indonesia. Sejumlah kondisi yang berkembang termasuk laporan mengenai indeks kerawanan pemilu dan instruksi serta sinkronisasi terkait pengamanan, menurut Wiranto, menjadi sebagian hal yang dibahas.
Wiranto mengatakan, pihaknya meminta aparat keamanan untuk waspada dan segera menangkap pihak-pihak penyebar hoaks yang menimbulkan ketakutan di tengah masyarakat. Isu hoaks itu, misalnya, seperti yang menyebutkan bahwa pemilu akan rusuh dan bahwa sebelum pemilu akan ada gerakan massa atau people power.
”Masyarakat diancam dengan hoaks (agar) bahwa mereka takut ke TPS, itu terorisme, maka kita gunakan UU Terorisme (UU Antiterorisme),” sebut Wiranto.
Masyarakat diancam dengan hoaks (agar) bahwa mereka takut ke TPS, itu terorisme, maka kita gunakan UU Terorisme (UU Antiterorisme)
Ia heran mengapa isu-isu hoaks tersebut dikembangkan di tengah keadaan yang damai. Wiranto yang menyatakan kegeramannya terhadap hal tersebut mengatakan, dirinya juga mengecam sebagian orang yang ingin mengacaukan proses demokrasi di Indonesia.
”Kepada para penyebar hoaks, kita sampaikan bahwa hoaks (dengan) isu yang meneror masyarakat itu adalah gerakan teror, dan aparat keamanan akan bertindak tegas dalam soal ini,” sebut Wiranto.
Ia mengatakan, pihaknya sudah menginstruksikan aparat keamanan untuk menindak tegas teror pada masyarakat berupa isu hoaks tentang pemilu tersebut dengan kemampuan serta kewenangan yang ada.
”Maka, kita minta aparat keamanan waspada, tangkap saja ini yang menyebarkan hoaks (dan) menimbulkan ketakutan masyarakat,” ujar Wiranto.
Wilayah rawan
Pada bagian lain, Wiranto menyampaikan, berdasarkan evaluasi dan survei yang dilakukan, memang masih ada sejumlah gangguan dan hambatan di sebagian wilayah. Hal itu ditransformasikan ke dalam Indeks Kerawanan Pemilu berdasarkan laporan KPU, Bawaslu, dan kepolisian.
Wiranto tidak menyebutkan secara mendetail wilayah-wilayah mana saja yang relatif masih dinilai memiliki kerawanan yang sebagian di antaranya dalam bentuk hambatan dan gangguan itu. Ia juga menolak membeberkan tindakan seperti apa yang akan dilakukan untuk teknik dan strategi pengamanan yang akan dilakukan.
Ia hanya menyebutkan bahwa gangguan dan hambatan tersebut ada di sebagian wilayah Jawa dan di luar Jawa. ”Cukup, jangan mendesak lagi,” ujarnya saat ditanya lebih jauh lebih detail di mana saja wilayah-wilayah dimaksud.
Meski demikian, ia memastikan, pihaknya sudah menginstruksikan penanggung jawab keamanan di setiap daerah untuk membenahi, menemukan, dan mengatasi segala ancaman berupa hambatan dan gangguan yang dicerminkan dalam Indeks Kerawanan Pemilu.
Hal ini sebagian di antaranya diwujudkan dengan pergelaran anggota TNI dan Polri yang mencapai 593.812 personel.
”(Jumlahnya) Besar sekali, bukan show of force, dan semua sudah tergelar di lapangan dengan berbagai instruksi pimpinan untuk siapa (dan) berbuat apa,” kata Wiranto.
Menurut Wiranto, Kemenko Polhukam dalam hal ini bertindak selaku koordinator yang menyinkronkan dan menyinergikan seluruh kekuatan yang ada. Di dalamnya termasuk mengatasi ancaman peretasan sistem pemilu di dunia virtual dengan menjalin koordinasi bersama Kemenkominfo, Badan Siber dan Sandi Negara (BSSN) dan sebagainya.
Pemilih khusus
Adapun salah satu hal teknis yang terkait pada penyelenggaraan pemilu kelak adalah keberadaan pemilik hak suara yang tidak tercantum dalam daftar pemilih tetap (DPT) dan daftar pemilih tambahan (DPTb). Mereka tercantum dalam daftar pemilih khusus (DPK).
Ketua KPU Arief Budiman mengatakan, pemilik hak suara yang ada dalam DPK bisa menggunakan kartu tanda penduduk elektronik (KTP-el). Akan tetapi, hak suara itu hanya bisa digunakan di lokasi TPS sesuai domisili dan pada 1 jam terakhir saat pencoblosan surat suara.