Pers berperan penting mendorong terselenggaranya pemilu berkualitas. Pers diharapkan memberikan pendidikan politik kepada pemilih dan menyediakan informasi yang objektif tentang calon presiden dan wakil presiden serta calon anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah.
Oleh
TATANG MULYANA SINAGA
·3 menit baca
BANDUNG, KOMPAS — Pers dinilai berperan penting mendorong terselenggaranya pemilu berkualitas. Pers diharapkan memberikan pendidikan politik kepada pemilih dan menyediakan informasi yang obyektif tentang calon presiden dan calon wakil presiden serta calon anggota legislatif dari tingkat pusat hingga daerah.
Hal itu mengemuka dalam diskusi ”Peran Pers dalam Menyukseskan Pemilu yang Demokratis” di Kota Bandung, Jawa Barat, Rabu (20/3/2019). Diskusi ini diselenggarakan oleh Kementerian Koordinator Bidang Politik, Hukum, dan Keamanan, dan dihadiri ratusan insan pers.
Ketua Dewan Pers Yosep Adi Prasetyo mengatakan, media dapat berperan penting meningkatkan pertisipasi publik dalam pemilu. Salah satu caranya dengan mengangkat aspirasi pemilih sehingga mereka merasa menjadi bagian penting dalam pesta demokrasi.
”Selama ini media terfokus pada pemberitaan calon presiden dan wakil presiden. Harusnya media memberikan tempat untuk pemilih kelompok masyarakat tertentu, seperti masyarakat adat, rakyat miskin kota, dan warga lansia,” ujarnya.
Harusnya media memberikan tempat untuk pemilih kelompok masyarakat tertentu, seperti masyarakat adat, rakyat miskin kota, dan warga lansia. (Yosep Adi Prasetyo)
Menurut Yosep, pemilih perlu ditanya gagasannya mengenai pembangunan Indonesia dalam lima tahun ke depan. Hal ini akan menjadi referensi bagi capres dan cawapres serta calon anggota legislatif untuk mengetahui harapan rakyat.
”Saat ini media juga kurang mempromosikan orang terbaik dari suatu daerah untuk dipilih rakyat sebagai wakilnya. Sorot kamera masih berkonsentrasi pada calon presiden, calon wakil presiden, dan tim suksesnya,” ujarnya.
Yosep mengatakan, independensi masih menjadi tantangan bagi media dalam Pemilu 2019. Dia berkaca pada Pemilu 2014. Menurut dia, saat itu media televisi (TV) terbelah.
”Beberapa jam setelah penutupan pemungutan suara, TV ”biru” mengatakan, selamat datang pemerintahan Jokowi-Jusuf Kalla. TV ”merah” mengatakan, selamat datang pemerintahan Prabowo-Hatta,” ujarnya.
Apalagi, menurut Yosep, saat ini sejumlah pemilik media berafiliasi dengan partai politik. Hal ini memunculkan pertanyaan apakah media dapat menyajikan pemberitaan yang adil dan bersikap independen.
Yosep juga mengingatkan untuk berhati-hati menggunakan informasi dari media sosial sebagai bahan berita. Sebab, sumber yang belum terverifikasi justru berpotensi menciptakan hoaks (berita bohong).
”Informasi dari media sosial boleh saja dijadikan bahan awal untuk menulis berita. Tetap, tetap harus diverifikasi kebenaran faktualnya. Hal ini untuk mencegah munculnya hoaks,” ujarnya.
Komisioner Komisi Penyiaran Indonesia (KPI) Ubaidillah mengatakan, pers diharapkan menyajikan pemberitaan yang berimbang. Program siaran wajib bersikap adil dan proporsional terhadap peserta pemilu.
”KPI atau Dewan Pers terus mengawasi pemberitaan, penyiaran, dan iklan kampanye pemilu yang dilakukan oleh lembaga penyiaran atau media cetak,” ujarnya.
Tokoh pers yang juga mantan Ketua Dewan Pers Bagir Manan mengatakan, media sangat berperan dalam meyakinkan masyarakat untuk menggunakan hak pilihnya. Selain itu, pers juga wajib mengawasi proses pemilu sehingga berjalan dengan adil.
”Bagaimana caranya mendorong rakyat berbondong-bondong datang ke tempat pemungutan suara. Bukan karena dimobilisasi, melainkan dengan kesadaran untuk memilih pemimpin dan wakil rakyat yang sesuai harapan,” ujarnya.