Survei “Kompas”, Capres dan Cawapres Tentukan Nasibnya Sendiri
Oleh
Hamzirwan Hamid
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS – Kedua pasangan calon presiden dan wakil presiden dinilai harus menentukan nasib mereka lewat gerakan kampanye langsung ke masyarakat. Keduanya tidak dapat berharap banyak pada pergerakan mesin partai politik pengusung, yang lebih cenderung fokus berebut kursi di parlemen.
Survei Litbang Kompas, yang dirilis pada Rabu (20/3/2019), menunjukkan loyalitas pemilih partai politik belum cukup kuat mendukung capres dan cawapres yang diusung.
Hal itu, misalnya, terjadi pada Partai Golongan Karya (Golkar). Hanya ada 55,1 persen pemilihnya yang mendukung Calon Presiden Nomor Urut 01 Joko Widodo–Ma’ruf Amin, sedangkan sebanyak 41,7 persen lagi mendukung Calon Presiden Nomor Urut 02 Prabowo Subianto-Sandiaga Uno.
Sebaliknya, pemilih Partai Amanat Nasional (PAN) memilih Prabowo-Sandiaga berjumlah 63,2 persen dan sebanyak 35,1 persen lagi memilih Jokowi-Amin.
Pengamat politik dari Universitas Diponegoro, Semarang, Nur Hidayat Sardini, mengatakan, sosok capres dan cawapres tetap menjadi preferensi utama bagi para pemilih. Pendekatan langsung kepada masyarakat kini dianggap efektif menggaet suara pemilih ketimbang memanfaatkan mesin partai melalui caleg di daerah.
“Di Jawa Tengah, misalnya, pendekatan pintu ke pintu memang jauh lebih gencar dilakukan oleh Prabowo-Sandiaga secara langsung. Itu mereka lakukan di Pati dan Blora yang sulit dijangkau,” ungkap Hidayat saat dihubungi dari Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Menurut Hidayat, tidak sedikit para caleg yang enggan mengampanyekan capres dan cawapres yang diusung partainya. Mereka menilai dukungan tersebut tidak serta-merta dapat memberikan keuntungan secara langsung. Dengan kata lain, efek ekor jas tidak banyak mereka andalkan.
Akibatnya, muncul kecenderungan pemilih untuk tidak terikat dengan pilihan partai dan capres yang diusung partai tersebut. “Meski sudah ada komitmen di dalam internal partai, tapi kecenderungan pemilih tersebut tidak bisa dilawan,” kata mantan Ketua Bawaslu tersebut.
Kehendak berbeda
Pengamat komunikasi politik dari Universitas Islam Negeri Syarif Hidayatullah, Jakarta, Gun Gun Heryanto, berpendapat, survei Litbang Kompas menunjukkan bahwa keberpihakan di Indonesia masih cukup lemah. Hal ini banyak dipengaruhi oleh jarak komunikasi politik yang lebar antara kehendak elite partai dan konstituennya.
“Fenomena itu juga seringkali terjadi pada pemilihan kepala daerah (pilkada), seperti yang dialami oleh Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan di Pilkada Jawa Barat,” kata Gun.
Menurutnya, efek ekor jas capres dan cawapres sejauh ini masih cenderung dirasakan oleh PDI-P dan Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra). Kedua partai tersebut menjadi partai yang paling loyal.
“Di Indonesia, partai yang mencalonkan capres memang mendapatkan insentif elektoral dari pencapresan tersebut. Efeknya dirasakan pada Pileg maupun Pilpres,” kata Gun.
Gun Gun menilai, loyalitas partai selain PDI-P dan Partai Gerindra dipengaruhi oleh beberapa faktor, antara lain kekuatan struktur partai di daerah dan intensitas komunikasi capres dengan basis konstituennya di daerah.
“Mesin partai yang bergerak secara maksimal kemudian berefek pada isu minor dari capres dan cawapres yang diusung,” ungkapnya.
Dengan alasan tersebut, peran relawan menjadi lebih krusial dibandingkan dengan caleg atau unsur partai lainnya. Menurut Gun Gun, hal tersebut perlu dievaluasi oleh partai sebab mengindikasikan basis struktur partai tidak berjalan efektif. (FAJAR RAMADHAN)