Tahanan "Overstay" Membludak, Negara Rugi Rp 15 miliar Per Bulan
Oleh
Pascal S Bin Saju
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS -- Direktorat Jenderal Pemasyarakatan Kementerian Hukum dan Hak Asasi Manusia menanggung beban biaya hingga Rp 15 miliar per bulan karena menangani tahanan yang lewat masa tahanan (overstay). Oleh karena itu direktorat perlu membuat mekanisme standar pengeluaran tahanan tersebut.
Perhitungan itu didasarkan pada 37.080 tahanan overstay per 19 Maret 2019, baik di rumah tahanan (rutan) maupun lembaga pemasyarakatan (lapas) yang dititipkan pihak penahan selama menjalani proses hukum. Pihak penahan adalah lembaga-lembaga penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, pengadilan negeri, pengadilan tinggi, hingga mahkamah agung.
Setiap hari, seorang tahanan diberi biaya makan Rp 14.000. Dengan demikian, dalam sebulan, Direktorat Jenderal Pemasyarakatan (Ditjen Pas) harus mengeluarkan biaya lebih dari Rp 15 miliar. Sekretaris Jenderal Kemenkum HA, Bambang Rantam Sariwanto, mengatakan, masalah ini perlu segera diselesaikan.
"Ditjen Pas harus melakukan langkah percepatan terkait persoalan tata kelola pemasyarakatan. Penuhnya rutan atau lapas, salah satunya disumbang kasus overstay ini," kata Bambang saat ditemui di acara diskusi kelompok terarah Mahkamah Agung, Kemenkum HAM, Kejaksaan Agung, dan Kepolisian (Mahkumjakpol), di Kantor Ditjen Pas, Jakarta, Rabu (20/3/2019).
Acara itu turut dihadiri perwakilan Mahkamah Agung RI, Kepolisian RI, Kejaksaan RI, Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK), Badan Narkotika Nasional (BNN), Badan Nasional Penanggulangan Teroris (BNPT), Badan Perencanaan Pembangunan Nasional (Bappenas), dan Ombudsman RI.
Direktur Jenderal Pemasyarakatan Sri Puguh Budi Utami mengakui, ditemui pada kesempatan yang sama, mengakui bahwa overstay tahanan merupakan masalah lama yang belum diselesaikan. Salah satu kendalanya adalah belum adanya prosedur standar operasional yang mengatur pelepasan tahanan yang telah habis masa penahanannya oleh kepala lapas atau rutan ke pihak penahan.
"Dari kami sendiri ada ketidakberanian karena masalah ini berkaitan dengan koordinasi dan seterusnya. Jadi, belum ada ketepatan mengambil sikap agar kami bisa mengembalikan tahanan kepada pihak yang menahan atau mengeluarkan demi hukum. Ini harus bisa dipahami aparat penegak hukum dan publik," kata Utami.
Secara hukum, penahanan tahanan yang telah habis masa penahanannya melanggar Pasal 19 ayat 7 dalam Peraturan Pemerintah Nomor 27 Tahun 1983 tentang pelaksanaan Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana (KUHP). Aturan itu mengharuskan kepala rutan dan lapas melepas tahanan demi hukum, agar tidak membatasi hak kebebasan.
Menanggapi hal itu, Anggota Ombudsman RI Adrianus Meliala mengingatkan agar Ditjen Pas membuat mekanisme pengeluaran tahanan yang overstay. Dengan demikian, kepala rutan dan lapas akan berani melepas tahanan, yang telah habis masa penahanannya, demi hukum.
"Dalam rangka memerankan porsi manajer, kepala rutan dan lapas ini kami lihat amat ragu-ragu dalam menerapkan dan melakukan kewenangannya dalam melepaskan tahanan yang overstay. Ada yang khawatir kalau melakukan itu akan di non-job (tidak dipekerjakan), itu kok lucu," ujarnya yang turut hadir dalam acara itu.
Ombudsman juga meminta Dirjen Pas untuk membenahi proses birokrasi untuk mengeluarkan tahanan overstay, yang harus mendapat rekomendasi Tim Penilaian Pemasyarakatan (TPP) dan persetujuan Kantor Wilayah Kemenkumham. Proses administrasi yang lamban terhadap tahanan ini juga dinilai sebagai salah satu pemicu overstay.
Perlu SOP
Spesialis Penelitian dan Pengkajian Sistem KPK, Deni Rifky Purwana, menyarankan, Dirjen Pemasyarakatan segera membuat prosedur operasional standar (SOP) untuk pengembalian tahanan overstay ke aparat penegak hukum yang melakukan penahan.
"Kepala rutan dan lapas selama ini harus mengambil diskresi, harus ambil risiko agar tidak terkena pidana. Menurut analisis kami, diskresi adalah faktor utama kerentanan korupsi, karena adanya risiko cenderung mendorong adanya penyeimbang dengan mencari keuntungan," ujar dia.
Deni pun menyarankan agar Ditjen Pas menginisiasi SOP bersama aparat penegak hukum, seperti kepolisian, kejaksaan, dan Mahkamah Agung. Ditjen Pas juga diharapkan mengubah paradigma dalam mengatasi masalah overstay, dari membebaskan tahanan menjadi mengembalikan tahanan ke aparat penahan.
"Untuk melepaskan tahanan memang dilindungi undang-undang, tapi kan tidak mudah. Untuk itu, kita perlu ubah paradigma, bukan melepaskan tahanan, tetapi mengembalikan ke pihak penahan, agar ada kejelasan apakah tahanan ini diperpanjang penahanannya atau dilepas. Jadi penegak hukum ini membantu, bukan melepas tanggung jawab," lanjut Deni.
Kita perlu ubah paradigma, bukan melepaskan tahanan, tetapi mengembalikan ke pihak penahan, agar ada kejelasan apakah tahanan ini diperpanjang penahanannya atau dilepas
Pembagian tanggung jawab dengan aparat penegak hukum menjadi penting, karena lembaga-lembaga penegak hukum masih mengakui kurangnya komunikasi dalam menindaklanjuti proses hukum tersangka. Hal itu sebelumnya diakui Wakil Ketua Pengadilan Negeri Jakarta Timur, Puji Harian.
"Memang komunikasi kami dengan jaksa memang belum dibangun. Sesuai KUHAP, ketika jaksa mengeksekusi, harusnya mereka melaporkan eksekusinya. Tetapi, selama ini kurang dijalankan, kurang kontrol," ujarnya.
Dari total sekitar 37.000 tahanan overstay, per 19 Maret 2019, sebagian besar tahanan, yakni 22.224 orang dilimpahkan pengadilan negeri. Sisanya terdiri dari 6.581 orang tahanan kejaksaan, 4.858 orang tahanan kepolisian, 2.355 tahanan pengadilan tinggi, dan 1.062 tahanan mahkamah agung. (ERIKA KURNIA)