JAKARTA, KOMPAS — Rasio volume air yang tertampung terhadap jumlah penduduk di Indonesia masih rendah. Pembangunan 65 bendungan sampai dengan tahun 2023 dimaksudkan agar ketahanan air meningkat.
Direktur Jenderal Sumber Daya Air Kementerian Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat (PUPR) Hari Suprayogi, Selasa (19/3/2019), di Jakarta, mengatakan, pembangunan 49 bendungan baru dan 16 bendungan lanjutan akan menambah jumlah air yang tertampung di Indonesia. ”Hal ini dalam rangka mendukung ketahanan pangan, ketahanan air, juga ketahanan energi,” kata Suprayogi.
Saat ini rasio air yang tertampung atau tampungan air di Indonesia sekitar 53 meter kubik per kapita per tahun. Jumlah itu masih jauh di bawah rasio ideal, yakni 1.900 meter kubik per kapita per tahun. Negara tetangga yang paling dekat rasio tampungan airnya adalah Thailand, yakni 1.200 meter kubik per kapita per tahun.
Untuk mengejar hal itu, peningkatan air yang tertampung hanya bisa dilakukan dengan cara membangun bendungan sebab bendungan tetap dapat memasok air pada musim kemarau.
Menurut Suprayogi, jika semua program pembangunan 49 bendungan baru dan 16 bendungan lanjutan selesai pada 2023, rasio air yang tertampung di Indonesia akan meningkat menjadi 95 meter kubik per kapita per tahun.
”Ketahanan air hanya bisa diukur dengan kapasitas tampungan karena sepanjang tahun airnya bisa dimanfaatkan,” ujar Suprayogi.
Tahun ini, pemerintah akan membangun sembilan bendungan tersisa dari program pembangunan sembilan bendungan. Sementara direncanakan tahun ini 15 bendungan akan selesai dan diisi dengan air. Dengan demikian, sejak 2015 sampai akhir 2019, total 29 bendungan selesai dan beroperasi. Beberapa bendungan yang selesai tahun ini antara lain Bendungan Sei Gong di Batam, Gondang di Jawa Tengah, dan Sindang Heula di Banten.
Sebanyak 29 bendungan yang selesai dibangun sampai akhir tahun ini menelan biaya sekitar Rp 40 triliun. Adapun kebutuhan biaya untuk membangun 65 bendungan mencapai Rp 84 triliun.
Multiguna
Bendungan di Indonesia didesain sebagai bendungan multiguna, terutama untuk mendukung ketahanan pangan, kebutuhan air bersih, sumber energi, pengendalian banjir, hingga rekreasi. Untuk mendukung ketahanan pangan, pembangunan bendungan mesti didukung dengan pembangunan jaringan irigasi. Dengan demikian, air bisa dialirkan ke area sawah.
Salah satu daerah irigasi yang didukung bendungan adalah daerah irigasi Rentang seluas 90.000 hektar di Jawa Barat. Setelah daerah irigasi Rentang dipasok airnya dari Bendungan Jatigede, terjadi peningkatan indeks penanaman dari 150 persen menjadi 270 persen. Demikian pula pembangunan Bendungan Rajui di Aceh yang selesai pada 2017 didukung dengan pembangunan jaringan irigasi untuk lahan pertanian seluas 1.000 hektar yang selesai dibangun pada 2018. Jika 65 bendungan selesai dan beroperasi, luas lahan irigasi yang pasokan airnya dari bendungan akan meningkat dari 11 persen menjadi 20 persen dari total 7,3 juta hektar.
Tantangan yang biasanya dihadapi dalam membangun bendungan, lanjut Suprayogi, adalah masalah sosial, berupa penolakan masyarakat setempat atau ketidaksepakatan masyarakat atas harga tanah yang akan dibebaskan. Masalah tersebut terjadi antara lain di Bendungan Mbay dan Bendungan Kolhua di Nusa Tenggara Timur.
Menurut Suprayogi, jika memang tidak memungkinkan untuk dibangun, pemerintah akan mengganti dengan bendungan lain yang lebih siap, antara lain Bendungan Budong-budong di Sulawesi Barat dan Tiu Suntuk di Nusa Tenggara Barat. Namun, pemerintah tetap mengupayakan bendungan pengganti tetap berada di provinsi tersebut.
Secara terpisah, Kepala Pusat Bendungan Kementerian PUPR Ni Made Sumiarsih mengatakan, terdapat beberapa bendungan yang diusulkan untuk dibiayai menggunakan pinjaman dari Korea dan China. Untuk bendungan yang diusulkan didanai pinjaman dari China adalah Bendungan Pelosika, Riam Kiwa, Jenelata, dan Lambakan. Sementara untuk bendungan yang diusulkan dibiayai dari pinjaman Korea adalah Bendungan Matenggeng, Muara Juloi, Urumuka, Baliem, dan Memberamo. (NAD)