Ada optimisme mengenai masa depan toleransi antarumat beragama di Indonesia. Masyarakat punya modal sosial yang kuat untuk menjaga keharmonisan dalam berbagai perbedaan yang ada.
Oleh
NINO CITRA ANUGRAHANTO
·3 menit baca
YOGYAKARTA, KOMPAS - Ada optimisme mengenai masa depan toleransi antarumat beragama di Indonesia, di tengah maraknya isu disintegrasi yang digaungkan segelintir oknum. Masyarakat punya modal sosial yang kuat untuk menjaga keharmonisan dalam berbagai perbedaan yang ada.
Hal itu terungkap dalam pemaparan hasil survei bertajuk “Tindak Kekerasan dan Non Kekerasan Berbasis Agama: Pendorong dan Penghambat” dari Center for Strategic and International Studies (CSIS) dan Losta Institute di Yogyakarta, Rabu (20/3/2019). Survei itu berlangsung pada 12-16 Februari 2019. Lokasi survei di tiga kabupaten yang masuk wilayah Solo Raya, yaitu Sukoharjo, Surakarta, dan Boyolali.
Jumlah responden dalam survei tersebut sebanyak 600 orang. Dari jumlah tersebut, sebesar 92 persen responden beragama Islam, sedangkan 8 persen lainnya memeluk agama selain Islam.
Direktur Eksekutif Losta Institute Uthu Taedini menyampaikan, pertanyaan yang diajukan kepada responden berkaitan dengan tanggapan mereka tentang beragam peristiwa kekerasan berbasis agama dalam lingkup nasional dan internasional. Mulai dari serangan bunuh diri yang dilakukan jaringan Al-Qaeda di Menara Kembar World Trade Center pada 2001 hingga pengeboman gereja di Jawa Timur, rumah susun Wonocolo, dan Markas Polrestabes Surabaya, pada 2017.
Hasil dari survei tersebut, berdasarkan tingkat pendidikannya, persentase responden yang tidak menyetujui cara pengeboman atau penyerangan dalam bentuk teror itu berkisar 80-100 persen. Terorisme juga dianggap sebagai musuh terbesar umat Islam dengan perolehan persentase yang tertinggi, yakni 32,9 persen responden.
Menanggapi hal itu, Direktur Eksekutif CSIS Philips J Vermonte, mengatakan, secara umum, sebenarnya masyarakat tidak menyetujui cara kekerasan guna mencapai tujuan tertentu. Aksi kekerasan itu tidak terdapat dalam benak masyarakat. Mereka justru punya modal sosial yang cukup kuat untuk menjaga hubungan baik di tengah keberagaman yang ada.
“Dari pemikirannya, tidak ada yang mau berbuat kekerasan. Sebaliknya, mereka justru bersedia menjaga keharmonisan yang ada dengan menerima perbedaan,” kata Philips.
Hal itu dapat dibuktikan dari sebesar 71,8 persen responden yang tidak keberatan jika ada warga non-muslim membangun tempat ibadah di sekitar tempat tinggal mereka. Lalu, sebesar 90,4 persen responden juga bersedia bertetangga dengan warga non-muslim. Kemudian, sebesar 80,9 persen responden juga tidak mempermasalahkan jika ada warga yang merayakan Natal di sekitar tempat tinggalnya.
Terkait temuan itu, Mohammad Iqbal Ahnaf, pengajar Program Studi Agama dan Lintas Budaya Universitas Gadjah Mada, meyakini, toleransi antarumat beragama akan terus terpelihara dengan baik. Bersedia menerima ekspresi keagamaan dari umat beragama lain mewujudkan penerimaan atas keberagaman yang ada.
“Ada basis untuk kita optimistis dengan masa depan toleransi di Indonesia. Ada sikap keterbukaan yang tinggi terhadap hidup berdampingan dengan orang yang berbeda agama. Itu jadi ukuran ekspresi toleransi yang tinggi,” kata Ahnaf.
Ahnaf mengatakan, sebenarnya, oknum yang mendukung intoleransi itu jumlahnya hanya sedikit. Namun, mereka sangat vokal sehingga suara intoleransi itu justru lebih memenuhi ruang publik. Hal tersebut bisa membungkam pemikiran masyarakat yang sesungguhnya sangat toleran.
“Walaupun kecil, tidak bisa diabaikan. Karena, mereka agresif dan ancamannya sangat nyata di ruang publik,” kata Ahnaf.
Ahnaf mengungkapkan, tak bisa dimungkiri, meskipun masyarakat punya pemikiran toleran, aksi intoleransi masih saja terjadi. Itu disebabkan pasifnya modal sosial dalam menghadapi aksi tersebut.
“Kita sudah punya modal sosial berupa pemikiran toleran. Pekerjaan rumah kita membuat modal sosial itu aktif menangkal intoleransi. Keberanian masyarakat melawan kelompok intoleran perlu ditingkatkan. Dan, jaminan hukum untuk melawan itu. Negara perlu hadir untuk memastikan rasa aman,” kata Ahnaf.