Warga Inginkan Tarif MRT dan LRT Tidak Terlalu Tinggi
JAKARTA, KOMPAS – Kehadiran LRT dan MRT dinilai warga akan menjadi solusi atas kemacetan yang selalu menjadi momok. Meski begitu, warga berharap tarif terintegrasi dan terjangkau sehingga tumbuh kesadaran menggunakan angkutan masal.
Septa Amirul (38), warga Kencana 2, Jakarta Selatan, setiap hari menggunakan motor menuju tempatnya bekerja di kawasan Rasuna Said. Akibat macet, saat pergi dan pulang kerja, Ia butuh waktu sekitar satu jam. Padahal, jika waktu normal perjalanan bisa ditempuh lebih kurang 30 menit.
Bagi Septa, menggunakan sepeda motor adalah pilihan terbaik, karena jika menggunakan TransJakarta juga akan terjebak macet dan waktu tempuh lebih lama. Oleh karena itu, keberadaan MRT yang akan beroperasi disambut positif dan antusias oleh dirinya.
“Tidak hanya saya, tetapi warga lain pasti juga antusias karena macet adalah momok. Sekarang ada pilihan transportasi yang membuat mobilitas warga tidak terganggu karena macet. Tidak hanya warga, tetapi layanan masyarakat seperti petugas ambulans dan pemadam kebakaran dapat melintas dengan lancar,” kata Septa, Rabu (20/3/2019).
Jika MRT sudah beroperasi, Septa mengatakan, akan menggunakan transportasi tersebut karena dari tempatnya tinggal tidak jauh dari Stasiun MRT Cipete Raya atau Fatmawati. Meski begitu, ia perlu menghitung pengeluaran biaya transportasi, karena jika tarif MRT lebih besar daripada biaya bahan bakar minyak yang ia keluarkan, tentu akan memberatkan.
Septa menilai, tarif MRT yang diusulkan pemerintah sebesar Rp 10.000 masih terlalu mahal. Sementara pengeluaran bahan bakar minyak yang ia keluarkan hanya Rp 30.000 per tiga hari.
Jika berangkat dari Stasiun MRT Cipete Raya atau Fatmawati, Septa harus turun di Stasiun MRT Setiabudi kemudian melanjutkan perjalanan menggunakan TransJakarta menuju Rasuna Said dengan membayar ongkos Rp 3.500. Dalam sekali perjalanan, Sapta harus mengeluarkan biaya Rp 13.500.
“Total pulang-pergi berarti Rp 27.000 per hari. Sementara uang bahan bakar saya Rp 30.000 per tiga hari. Jika tiap hari menggunakan MRT cukup berat buat saya,” katanya.
Meski MRT menjadi alternatif angkutan massal yang dapat mengurai kemacetan di Jakarta, ia berharap, tarif yang ditawarkan oleh pemerintah bisa turun yaitu sekitar Rp 7.000 sampai Rp 8.500. Ia beralasan, dengan tarif yang terjangkau bisa menarik jumlah penumpang untuk menggunakan transportasi massal dan menciptakan budaya untuk menggunakan transportasi masal.
Hal serupa diutarakan oleh Wisnu Prasetyo (37), warga Cempaka Mas Jakarta Pusat. Meski mengaku sangat antusias dengan kehadiran LRT dan MRT serta ada integrasi antarmoda, ia masih belum mengetahui ketentuan pembayaran tarif yang terintegrasi menggunakan kartu JakLingko menjadi satu atau terpisah.
Ia merasa, jika tarif MRT dan LRT harus dibayar terpisah tentu akan sangat memberatkan. Jika LRT dan MRT sudah beroperasi, Wisnu yang berkerja di kawasan Setiabudi Jakarta Selatan harus menghitung ulang biaya operasional menggunakan transportasi massal yang berganti-ganti.
Dari tempatnya di Cempaka Mas, ia harus menggunakan angkot menuju LRT rute Kelapa Gading-Rawamangun membayar Rp 6.000. Dari LRT Rawamangun ia berjalan ke Halte TransJakarta Pemuda Rawamangun menuju Halte TransJakarta Setiabudi dengan membayar ongkos Rp 3.500. Total yang harus dia keluarkan, sebesar Rp 9.500. Dengan demikian, tarif pulang pergi yang harus dikeluarkan Wisnu perhari sebesar Rp 19.000. Jika tarif LRT Rp 6.000 sekali jalan, Wisnu harus mengeluarkan Rp 31.000 per hari.
Sementara bila menggunakan sepeda motor, kata Wisnu, dia hanya mengeluarkan sebesar Rp 25.000 untuk bahan bakar dua sampai tiga hari. “Jika perhitungannya seperti itu, saya tidak akan menggunakan transportasi massal. Lebih baik pakai motor karena uang BBM hanya Rp 25.000 per dua sampai tiga hari,” kata Wisnu.
Terkait integrasi tarif, ia berharap, pemerintah bisa memperhitungkan tarif dari masing-masing moda transportasi sehingga tidak memberatkan warga. “Jika sehari pulang pergi ongkos sebesar Rp 20.000 hingga Rp 25.000 masih terjangkau,” lanjutnya.
Penambahan rute integrasi
Dalam upaya untuk integrasi antarmoda, PT Transportasi Jakarta (TransJakarta) menyiapkan layanan JakLingko untuk memudahkan mobilitas warga yang ingin berpindah dari satu moda ke moda transportasi lainnya.
Rute pertama yaitu Jak 59 Rute Rawa Sengon-Rawamangun dengan jumlah armada 24 unit angkot. Kemudian, Jak 61 rute Pulogadung-Cempaka Putih dengan 24 angkot. Terakhir, Jak 45 rute Lebak Bulus-Ragunan.
Direktur Pelayanan dan Pengembangan PT Transjakarta Achmad Izzul Waro mengatakan, integrasi pembayaran sudah bisa menggunakan kartu JakLingko atau kartu uang elektronik perbankan. Saat ini, penjualan kartu JakLingko terus meningkat. Per 15 Januari 2019 sudah terjual 189.486 unit.
“Saat ini tersisa 6.537 kartu JakLingko BNI dan 9.563 kartu untuk JakLingko Bank DKI. Melalui JakLingko masyarakat akan terintegrasi dengan layanan moda terpadu seperti MRT dan LRT,” kata Izzul.
Pembukaan integrasi menambah jumlah layanan JakLingko menjadi 34 rute. Sebelumnya sudah beroperasi rute Tanjung Priok-Plumpang, Tanah Abang-Kota, Tanah Abang-Kebayoran Lama, Tanah Abang-Pos Pengumben-Kebayoran Lama, Tanah Abang-Meruya, dan Tanah Abang-Tawakal.
Kemudian, rute Tanjung Priok-Bulak Turi, PGC-Condet, Pulogadung-Senen, Pulogadung-Terminal Senen via Kelapa Gading, Stasiun Duren Kalibata-Kuningan, serta Pinang Ranti-Setu.
JakLingko juga melayani rute Kampung Melayu-Duren Sawit, Lubang Buaya-Cawang UKI, PGC-Dwikora, Penas Kalimalang-Dwikora, Kalisari-Pasar Rebo, Duren Sawit-Rawamangun, Rorotan-Pulogebang, Pasar Rebo-Wiladatika, dan Tanjung Priok-Rusun Sukapura.
Ada pula rute Lebak Bulus-Pondok Labu, Citraland-Meruya, Pondok Labu-Blok M, Petukangan-Lebak Bulus, Pulogadung-Kota, Grogol-Tubagus Angke, Semper-Rorotan, Taman Kota-Budi Luhur, dan Kampung Rambutan-Pondok Gede.
Penumpang bisa membeli kartu JakLingko di halte transjakarta seharga Rp 30.000 dengan saldo Rp 10.000. Sementara pembelian di rute bus kecil, kartu dijual dengan harga Rp 20.000. Pengguna layanan JakLingko juga terhubung dengan layanan Transjakarta di koridor maupun non-koridor. (AGUIDO ADRI)