JAKARTA, KOMPAS — Perkumpulan Onkologi Indonesia meminta agar obat kanker yang masuk dalam program Jaminan Kesehatan Nasional atau JKN diaudit secara berkala. Audit ini bertujuan untuk memperbaiki kesalahan dalam pemberian obat.
Melalui surat resmi yang ditandatangani Ketua Umum Perkumpulan Onkologi Indonesia (POI) Aru W Sudoyo dan Sekretaris Jenderal POI Evlina Suzanna, POI menyoroti beberapa kebijakan Badan Penyelenggara Jaminan Sosial (BPJS) Kesehatan terkait obat kanker.
Sebelumnya, BPJS Kesehatan berencana menghapus dua obat untuk kanker kolorektal yakni Bevacizumab dan Cetuximab (Kompas, 21/2/2019). Selain itu, POI menyoroti dijaminnya kembali obat Trastuzumab untuk kanker payudara stadium 4 (metastatik) yang sempat dihentikan direksi BPJS Kesehatan selama beberapa bulan sepanjang 2018.
Beberapa laporan pemakaian obat kanker mahal yang tidak sesuai dengan restriksi yang ditetapkan dalam Formularium Nasional (Fornas) juga menjadi alasan POI meminta pemerintah mengaudit obat kanker secara berkala.
“Kami mengusulkan agar Kementerian Kesehatan segera memulai audit indikasi pemberian beberapa obat kanker seperti Bevacizumab, Cetuximab, Trastuzumab, Lapatinib, Gefitinib, dan Erlotinib,” kata Aru dalam surat tersebut yang diterima Kompas pada Kamis (21/3/2019).
Beberapa obat tersebut masuk dalam program JKN sejak Januari 2014 hingga Desember 2018. POI mengusulkan, audit tersebut dilakukan bersama Ombudsman RI, Departemen Farmakologi Fakultas Kedokteran Universitas Indonesia, dan Fakultas Kesehatan Masyarakat UI. Audit obat kanker secara berkala tersebut perlu dilakukan di beberapa daerah dan rumah sakit.
Melalui audit tersebut, diharapkan dapat mendeteksi dan memperbaiki berbagai kesalahan dalam pemberian obat dan menyelamatkan ratusan miliar rupiah dana JKN di masa mendatang. Selain itu, dapat menjamin sejumlah pasien yang membutuhkan memperoleh terapi yang paling tepat sesuai ketentuan dalam Fornas.
Langgar aturan
Koordinator Advokasi BPJS Watch, Timboel Siregar, mengatakan, pemerintah harus mengkaji kembali kebijakan pencabutan dua obat kanker tersebut. Pencabutan itu dinilai melanggar Pasal 22 ayat 1 Undang-Undang Sistem Jaminan Sosial Nasional dan Pasal 46 Peraturan Presiden Nomor 82 tahun 2018.
“Kajian tersebut harus melibatkan seluruh pemangku kebijakan JKN seperti ikatan dokter digestif dan perwakilan peserta JKN,” kata Timboel.
Jika pemerintah tetap mencabut dua obat tersebut, lanjut Timboel, maka penderita kanker usus besar akan kesulitan mengakses obat itu karena relatif mahal. Dokter juga akan kesulitan memberi resep sesuai ketentuan medis.
Menurut Timboel, biaya pengobatan kanker di 2018 sebesar Rp 2,9 triliun atau sekitar 3 persen dari total INA CBGs atau besaran pembayaran klaim oleh BPJS Kesehatan. Biaya tersebut lebih kecil dibandingkan dengan operasi Caesar yagn sebesar Rp 3,2 triliun untuk 584.000 orang pada 2018.
Hal yang perlu dilakukan pemerintah justru mengkaji pelayanan kesehatan yang merugikan JKN seperti operasi caesar itu.
“Apa benar ibu-ibu sebanyak itu harus dioperasi caesar? Saya meragukan,” ujarnya. Timboel menduga ada fraud atau kecurangan dalam penanganan operasi caesar tersebut. Karena itu, seharusnya kedua obat kanker tersebut tetap dijamin oleh BPJS Kesehatan.