JAKARTA, KOMPAS - Calon anggota legislatif dari Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan dan Partai Gerakan Indonesia Raya tetap bekerja keras untuk pemenangan Pemilihan Legislatif 2019 meski mendapatkan efek ekor jas dari kadernya yang jadi calon presiden. Mereka tetap menggalang suara dari masyarakat melalui kampanye yang intensif di daerah pemilihan serta mengenalkan program calon presiden yang diusung partainya.
Majunya Joko Widodo dan Prabowo Subianto sebagai calon presiden memberikan efek ekor jas atau coattail effect kepada PDI-P dan Partai Gerindra sebagai pengusung calon presiden-wakil presiden. Hal itu ditandai dengan elektabilitas PDI-P dan Partai Gerindra yang menunjukkan tren peningkatan.
Hasil survei elektabilitas partai politik Litbang Kompas menunjukkan, PDI-P dan Partai Gerindra berada pada urutan teratas partai politik yang mengikuti Pemilu 2019. PDIP memperoleh 26,9 persen suara, Gerindra 17,0 persen, disusul Partai Golkar 9,4 persen, Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 6,8 persen, Partai Demokrat 4,6 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 4,5 persen.
Adapun, partai yang terancam tak lolos ambang batas parlemen 4 persen, yakni Partai Amanat Nasional (PAN) 2,9 persen, Partai Persatuan Pembangunan (PPP) 2,7 persen, Partai Nasdem 2,6 persen, Partai Hati Nurani Rakyat (Hanura) 0,9 persen, Partai Bulan Bintang 0,4 persen, Partai Keadilan dan Persatuan Indonesia (PKPI) 0,2 persen, Partai Persatuan Indonesia (Perindo) 1,5 persen, Partai Solidaritas Indonesia (PSI) 0,9 persen, Partai Berkarya 0,5 persen, dan Partai Garuda (0,2 persen).
Charles Honoris, calon anggota legislatif PDI-P Daerah Pemilihan Jakarta III, mengatakan, caleg bekerja lebih keras karena pemilu 2019 bukan sekadar memenangkan pileg. Akan tetapi, juga memenangkan pilpres. Salah satu kader terbaik PDI-P, Jokowi, menjadi calon presiden sehingga menjadi kewajiban kader-kader PDI-P untuk memenangkan pileg dan pilpres.
“Bagi PDI-P menang pilpres kali ini bukan sekadar mencari kekuasaan bagi Jokowi atau partai. Pemilu ini adalah sebuah perjuangan ideologis membangun Indonesia sesuai dengan ideologi Pancasila dan pemikiran-pemikiran Bung Karno,” ucap Charles di Jakarta, Kamis (21/3/2019).
Sebagai kader PDI-P dan petahana, Jokowi memberikan efek positif melalui kebijakan-kebijakan pemerintahannya yang telah dirasakan oleh masyarakat. Charles menuturkan, ketika blusukan maupun tatap muka dengan masyarakat, tingkat asosiasi PDI-P dengan Jokowi sangat tinggi. Jokowi dilihat sebagai kader PDI-P sehingga kerja-kerja pemerintahan juga dilihat sebagai keberhasilan partai.
Selain itu, efek Jokowi juga memudahkan caleg dalam berkampanye untuk pileg maupun pilpres. Caleg memanfaatkan program-program kerja Jokowi dengan cara mengingatkan lagi maupun mengenalkannya kepada masyarakat.
Charles menyebutkan, kampanye kali ini cukup efisien dan efektif karena banyak mengoptimalkan relawan untuk melakukan kampanye dari pintu ke pintu. Tercatat, ia memiliki 600 relawan yang sudah menyapa 300 ribu KK di dapil Jakarta III dalam beberapa bulan terakhir untuk memperkenalkan diri sekaligus mengajak memilih Jokowi.
“Strateginya sering turun menemui calon pemilih. Hampir setiap hari. Intensitas penggunaan media sosial untuk kampanye juga meningkat,” ujarnya.
Selain itu, Charles juga memanfaatkan media sosial untuk melawan penyebaran hoax, fitnah, dan ujaran kebencian. Ia memiliki admin yang mengelola fanpage Facebook. Dalam setiap kesempatan bertemu warga, ia juga menyampaikan bahaya penyebaran hoax, kebencian, dan lainnya.
Charles mengakui persaingan memang tidak mudah. Banyak tokoh-tokoh hebat di dapil Jakarta III. Akan tetapi, ia punya keuntungan sebagai wajah lama.
“Saya mengeluarkan dana antara Rp 4 miliar-Rp 6 miliar untuk pileg. Dana itu untuk produksi kaos dan alat peraga. Selain itu, ada gelas dan souvenir lain,” katanya.
Hingga pelosok
Sementara itu, Andre Rosiade, caleg Gerindra Dapil Sumatera Barat I, mengatakan, dia telah memasang baliho, iklan di tv dan radio lokal sejak Agustus 2017. Ia memasang slogan "Gerindra Menang, Prabowo Presiden" dan "Andre=Gerindra, Andre=Prabowo". Ketika Gerindra dapat efek ekor jas, ia jadi salah satu caleg penikmatnya.
Andre tidak memungkiri, ia identik dengan Prabowo karena perannya sebagai jubir. Ia banyak mendapat ekspos dari media massa sehingga diketahui konstituen sampai ke pelosok-pelosok.
“Saya penikmat ekor jas. Sebagai jubir partai dan Badan Pemenangan Nasional saya mendapat banyak perhatian dari media massa. Saya semakin dikenal, khususnya di Sumatera Barat,” ucap Andre.
Ia menggelontorkan uang miliaran rupiah untuk pemasangan baliho dan iklan. Hasilnya memuaskan, ia dikenal hingga pelosok.
Menurut Andre, miliaran rupiah juga dikeluarkan untuk mencetak alat peraga kampanye. Simulasi pencoblosan penting agar konstituen tahu cara dan mencoblosnya. Andre menargetkan 200.000 suara dari 2,5 juta konstituen di dapilnya.
Sebulan terakhir, kampanye difokuskan dari pintu ke pintu serta memenuhi undangan masyarakat.
Selain itu, media sosial juga dioptimalkan untuk kampanye. Andre semakin intens menggunakan Instagram untuk menayangkan kegiatannya selama di dapil dan berbagi pandangan-pandangannya melalui Twitter.
“Tetap kerja meyakinkan konstituen untuk memilih,” ujarnya.
Yakinkan konstituen
Efek ekor jas membuat kerja partai jadi lebih ringan, sebaliknya berat bagi caleg. Hal itu terjadi karena calon presiden diasosiasikan dengan partai sehingga konstituen cenderung melihat partai bukan caleg.
Direktur Eksekutif Charta Politika Indonesia Yunarto Wijaya mengatakan, tugas berat caleg ialah meyakinkan konstituen untuk mencoblos atau memilih dirinya bukan hanya partai.
“Caleg bersaing untuk membujuk konstituen memilih atau mencoblos dirinya. Ekor jas berpengaruh ke partai, di sisi lain caleg perlu suara untuk lolos ke parlemen,” ucap Yunarto.
Yunarto menyebutkan, kampanye dari pintu ke pintu serta simulasi pencoblosan perlu diintensifkan oleh caleg, khususnya sebulan terakhir. Kampanye dari pintu ke pintu penting agar konstituen tahu identitas caleg dan kemungkinan mencoblos semakin besar.
Adapun, simulasi pencoblosan agar konstituen tahu cara dan caleg mana yang harus dicoblos. Bukan sebaliknya, konstituen hanya mencoblos simbol partai saja. (FRANSISKUS WISNU WARDHANA DHANY)