Cegah Kejahatan Serius, OJK Minta Industri Tekfin Dalami Profil Nasabah
Oleh
Benediktus Krisna Yogatama dan I Gusti Agung Bagus Angga
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Layanan penyedia jasa keuangan rentan dimanfaatkan untuk tindak pidana kejahatan serius, seperti pencucian uang dan pendanaan terorisme. Untuk itu, Otoritas Jasa Keuangan meminta pelaku industri teknologi finansial pinjaman antarpihak mendalami profil nasabah baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman sebelum transaksi dilakukan.
Hal itu diungkapkan Analis Eksekutif Senior pada Fungsional Pengendalian Kualitas dan Monitoring Pengawas Sektoral-Grup Penanganan Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme Otoritas Jasa Keuangan (OJK) Dewi Fadjarsarie Handajani dalam acara Expert GYM: Money Laundering and Terrorism Financing A Threat to Fintech Industry, Kamis (21/3/2019), di Jakarta.
Turut hadir dalam acara tersebut Director Square Gate One and Espay Joshua Darmawan, Vice President Financial Services Industry Consultancy Satish SS, dan Director Dow Jones Risk and Compliance, APAC, Sachin B Singh.
Dewi mengatakan, industri teknologi finansial (tekfin) pinjaman antarpihak atau peer to peer lending rentan menjadi tempat tindak pidana pencucian uang (TPPU) dan pendanaan terorisme. Sebab, pemberi pinjaman dan peminjam tidak harus bertemu atau bertatap muka saat bertransaksi.
Selain itu, syarat yang diajukan untuk pengajuan pinjaman tergolong sederhana, yaitu hanya menyertakan KTP dan foto diri. Dua hal ini membuat pengawasan pemberian pinjaman menjadi lebih longgar.
”Kemudahan dan longarnya syarat yang ditawarkan tekfin pinjaman ini bermata dua. Di satu sisi memudahkan, tetapi juga mengendurkan pengawasan. Maka, pencucian uang dan pendanaan terorisme menggunakan tekfin pinjaman antarpihak ini sangat mungkin terjadi,” tutur Dewi.
Kerentanan tekfin pinjaman antarpihak terlibat kejahatan serius itu juga disampaikan Joshua. Espay merupakan perusahaan yang memiliki basis data nasabah jasa keuangan.
”Para pemberi pinjaman bisa saja mencuci uangnya. Di sisi lain, penerima pinjaman bisa saja mengatakan dana itu digunakan untuk keperluan sehari-hari atau untuk modal usaha. Namun, apabila digunakan untuk pendanaan terorisme, kan, susah juga mengetahuinya,” ujar Joshua.
Dewi menjelaskan, OJK sudah mengeluarkan kebijakan yang mengatur soal TPPU. Hal tersebut tertuang di Peraturan OJK Nomor 12 Tahun 2017 tentang Penerapan Program Anti Pencucian Uang dan Pencegahan Pendanaan Terorisme di Sektor Jasa Keuangan.
”Sudah terdapat poin-poin yang perlu dipatuhi pelaku jasa industri keuangan, termasuk perusahaan tekfin pinjaman antarpihak,” ujar Dewi.
Namun, karena industri teknologi finansial pinjaman antarpihak masih tergolong baru atau infant industri, OJK memberi waktu pelaksanaan POJK itu baru berjalan pada 2021. Jeda waktu itu diharapkan bisa dimanfaatkan pelaku industri tekfin untuk mempersiapkan diri.
Meski demikian, Dewi meminta pelaku tekfin pinjaman antarpihak untuk tetap betul-betul mengecek profil calon nasabah, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman.
Pelaku tekfin pinjaman antarpihak untuk tetap betul-betul mengecek profil calon nasabah, baik pemberi pinjaman maupun penerima pinjaman.
Pendanaan terorisme
Untuk mencegah pendanaan terorisme dari tekfin pinjaman antarpihak, Dewi meminta perusahaan tekfin mengecek nama penerima pinjaman itu dalam Daftar Terduga Teroris dan Organisasi Teroris (DTTOT) yang dirilis kepolisian. Perusahaan bisa meminta data itu di kepolisian.
”Saat nasabah penerima pinjaman mengunggah KTP-nya, perusahaan harus segera mengeceknya, apakah dia terlibat terorisme atau tidak,” ujar Dewi.
Jika masuk dalam daftar DTTOT, perusahaan diminta segera melaporkan hal tersebut kepada kepolisian. Tugas perusahaan tekfin, lanjut Dewi, adalah menemukan potensi pendanaan terorisme tersebut. Adapun proses penegakan hukum selanjutnya menjadi tugas kepolisian.
Ia menjelaskan, pendanaan terorisme yang berkedok pinjaman daring kemungkinan untuk pinjaman dengan jumlah kecil, sekitar Rp 500.000–Rp 4 juta. Sebab, para pelaku ini biasanya membutuhkan dana untuk operasi dan merakit bom sederhana.
Kabar baiknya, lanjut Dewi, sepanjang 2018 sampai dengan Januari 2019, dari total 5,16 juta penerima pinjaman, belum ada yang termasuk dalam daftar DTTOT.
Pencucian uang
Sementara itu, untuk mencegah tekfin terlibat TPPU, Dewi meminta perusahaan teknologi finansial untuk mendata, mendalami profil nasabah, dan memasukkan mereka dalam golongan orang-orang yang terpapar politik (politically exposed person/PEP).
Kewaspadaan perusahaan tekfin agar tidak menjadi tempat TPPU juga diungkapkan oleh Sachin. Sebagai informasi, Dow Jones, perusahaan tempat Sachin bekerja, memiliki basis data profil nasabah yang tergolong PEP di seluruh dunia.
”Orang-orang dengan paparan politik yang tinggi ini rentan terjerumus tindak pidana pencucian uang,” ujar Sachin.
Secara sederhana, Sachin menjelaskan, orang-orang yang tergolong PEP adalah para pejabat publik, politisi, ataupun pengusaha yang kerap terlihat bersama pejabat publik.
Orang-orang dengan paparan politik yang tinggi ini rentan terjerumus tindak pidana pencucian uang. Mereka adalah para pejabat publik, politisi, ataupun pengusaha yang kerap terlihat bersama pejabat publik.
Ia mengatakan, para pelaku TPPU kemungkinan besar adalah pemberi pinjaman di tekfin pinjaman antarpihak. Apabila pemberi pinjaman itu termasuk PEP, perusahaan harus mewaspadai dan menaruh perhatian kepadanya.
Dewi mengatakan, selama ini OJK bekerja sama dengan Pusat Pelaporan Analisis Transaksi Keuangan untuk menyusuri kemungkinan adanya TPPU di tekfin. ”Kami terus mengawasinya,” ujar Dewi.