Aksi penyerangan kelompok kriminal bersenjata terhadap aparat keamanan yang terus berulang di Papua harus menjadi perhatian serius bagi para elite lokal.
Oleh
FABIO COSTA dan FRANSISKUS PATI HERIN
·3 menit baca
JAYAPURA, KOMPAS - Aksi penyerangan kelompok kriminal bersenjata terhadap aparat keamanan yang terus berulang di Papua harus menjadi perhatian serius bagi para elite lokal. Para elite di daerah memegang peranan kunci untuk mengupayakan perdamaian antara kedua pihak.
Hal tersebut disampaikan Pelaksana Tugas Kepala Sekretariat Perwakilan Komisi Nasional Hak Asasi Manusia Wilayah Papua Frits Ramandey, saat dihubungi, Kamis (21/3/2019). Frits menanggapi terulangnya kembali kasus penembakan oleh kelompok kriminal bersenjata (KKB) terhadap aparat keamanan di Distrik Mugi, Kabupaten Nduga, Papua, Rabu (20/3).
Dalam peristiwa itu, anggota Brigade Mobil Polri Bhayangkara Dua Aldy gugur. Dua rekannya, Inspektur Dua Arif Rahman dan Bhayangkara Dua Ravi Kurniawan, terluka tembak.
Ketiga korban ditembak KKB yang dipimpin Egianus Kogoya dari perbukitan ketika mengamankan distribusi logistik makanan yang dibawa dengan helikopter di Lapangan Terbang Mugi, Rabu pukul 07.30 WIT.
Dirinya tidak setuju dengan wacana untuk menarik aparat keamanan yang kini melakukan pengamanan di daerah tersebut.
"Ini lama dibiarkan oleh otoritas sipil. Dibiarkan berlarut-larut head to head antara aparat keamanan dan kelompok sipil bersenjata. Kelompok bersenjata itu hanya bisa dikendalikan oleh otoritas sipil setempat seperti bupati. Bupati tahu, pelaku ini siapa dan tinggal di mana," kata Frits.
Menurut dia, otoritas sipil setempat memiliki hubungan secara adat dan budaya dengan para anggota kelompok tersebut. Dalam kosmologi budaya setempat, ada struktur dalam lembaga adat yang bisa diminta untuk menekan KKB agar menghentikan aksi tersebut. Kepala daerah seharusnya dapat melakukan hal tersebut.
Jika hal itu tidak dapat dilakukan, kemungkinan jatuh korban masih akan terus terjadi, baik dari aparat keamanan, pihak KKB, maupun warga sipil. Berdasarkan catatan Kompas, sepanjang tahun 2018 hingga 20 Maret 2019, KKB telah terlibat dalam 34 kasus penembakan. Akibatnya, jumlah korban meninggal dunia dari pihak sipil sebanyak 23 orang dan dari TNI serta Polri sebanyak 13 orang.
Frits juga menyatakan bahwa dirinya tidak setuju dengan wacana untuk menarik aparat keamanan yang kini melakukan pengamanan di daerah tersebut. Kebijakan itu bukanlah solusi untuk menghadirkan kedamaian di sana. Ia mendorong dilakukan perundingan damai.
Kepala Penerangan Komando Daerah Militer XVII/Cenderawasih Kolonel (Inf) M Aidi, sehari sebelumnya, juga mengatakan kecewa dengan gerakan sejumlah kelompok yang meminta TNI dan Polri ditarik dari Papua.
Hal ini memberi kesan bahwa seolah aparat yang menjadi dalang terjadinya gangguan keamanan di Papua. Padahal, keberadaan aparat di sana untuk melindungi masyarakat, melakukan penegakan hukum, dan menjaga kedaulatan negara.
Peristiwa penembakan tersebut juga memberi pesan bahwa kelompok kriminal itu tidak akan berhenti mengganggu keamanan di wilayah Papua. “Kondisi ini memerlukan dukungan dari semua pihak untuk menumpas kelompok yang merongrong kedaulatan negara,” kata Aidi.
Kepala Humas Polda Papua Komisaris Besar Ahmad Mustofa Kamal mengatakan, pengamanan untuk tempat pemungutan suara di daerah rawan teror lebih diperketat jika dibandingkan dengan daerah lainnya. Kabupaten yang menjadi perhatian khusus pengamanan Polri dalam pelaksanaan pemilu di Papua antara lain Nduga, Puncak, Puncak Jaya, dan Lanny Jaya.
”Kami menyiapkan sekitar 11.000 personel untuk pengamanan tahapan pemilihan presiden dan anggota legislatif di Papua pada 17 April. Sebanyak 60 persen dari kekuatan ini dikerahkan di daerah rawan gangguan keamanan,” kata Ahmad.