Jennika (23) mengayunkan raket dengan sangat santai saat melawan atlet asal Polandia, Katarzyna Janicka (23), pada laga bulu tangkis tunggal putri Olimpiade Khusus 2019 di Abu Dhabi, Uni Emirat Arab, Senin (18/3/2019). Atlet asal Meranti, Riau, ini sengaja tidak mengeluarkan seluruh kemampuannya agar tidak didiskualifikasi.
”Tahan Jennika… tahan,” teriak para ofisial Indonesia dari tribune penonton. Jennika pun tersenyum dan kembali bermain seperti sedang berlatih. Ia tidak perlu bersusah payah, apalagi melompat. Kok yang dipukul Janicka dapat dengan mudah ia kembalikan. Sebaliknya, Janicka terlihat kesulitan, bahkan untuk memukul kok melewati net.
Setelah Janicka meraih angka di atas 10 poin, barulah Jennika mengeluarkan kemampuannya dalam laga itu. Jennika akhirnya menang, 21-13, 21-14, dan meraih medali emas. Misinya, yakni menghindari kemenangan telak, telah tercapai.
Penampilan Jennika siang itu terasa tidak sesuai prinsip sportivitas. Sikap sengaja mengalah ini tak jauh berbeda dengan kelakuan tim sepak bola yang sudah dikuasai mafia pengaturan skor. Namun, Jennika dan kontingen Indonesia dalam posisi sulit sehingga terpaksa menempuh cara ini.
Laga itu digelar setelah dua atlet Indonesia lainnya dari cabang renang dan tenis meja didiskualifikasi dan batal meraih emas. Atlet renang Refel Andre (28) batal meraih emas meski menjadi yang tercepat di nomor 50 meter gaya bebas putra. Petenis meja Yunika Pujiastika (22) juga batal dikalungi emas meski sudah mengalahkan tiga lawannya di tunggal putri.
Refel mencatat waktu 29 detik, sedangkan perenang di belakangnya, Hansel Calderon (Kosta Rika), mencatat 33,5 detik. Namun, juri menganggap Refel melebih batas kemampuan maksimalnya.
Hal ini disebabkan pada tahap divisioning, Refel hanya mencatat waktu 36 detik. Berdasarkan patokan itu, penampilan Refel akan dianggap wajar jika mencatat waktu sekitar 5 detik, atau 15 persen, lebih cepat dari waktu saat divisioning.
Divisioning adalah tahapan yang dijalani semua atlet pada Olimpiade Khusus sebelum berlaga. Pada tahap itu, juri akan menilai kemampuan setiap atlet dan mempertandingkan dengan lawan yang sepadan. Tahapan ini membuat ajang ini lebih adil karena tingkat disabilitas intelektual setiap atlet berbeda.
Melalui divisioning itu, Yunika ditempatkan pada divisi empat usia 22-28 tahun. Di divisi 4, Yunika bertarung melawan atlet dengan tingkat disabilitas cukup tinggi. Atlet dengan tingkat disabilitas paling rendah berada di divisi 1.
Ketika Yunika dengan mudah mengalahkan ketiga lawannya dari Yunani, Bahrain, dan Irak, juri pun curiga. Yunika didiskualifikasi karena dianggap menyimpan kemampuannya saat tahap divisioning.
”Saya juga tidak tahu, seharusnya Yunika berada di divisi tiga. Saya sekarang kasihan sama atletnya,” kata pelatih tim tenis meja Tiyas Vegariani.
Masalah yang menimpa Yunika dan Refel ini jadi bertolak belakang dengan misi Olimpiade Khusus untuk mengangkat martabat kaum disabilitas intelektual. Menang atau kalah memang menjadi hal terakhir dalam ajang kemanusiaan berbalut olahraga ini.
Namun, diskualifikasi menjadi hukuman berat bagi atlet yang tidak tahu apa-apa dan sudah berlatih keras. Mereka jauh-jauh pergi ke Abu Dhabi hanya untuk kecewa. Strategi mengalah seperti yang dilakukan Jennika semata untuk menjaga semangat dan motivasi atlet.
Ketua Kontingen Indonesia Ferry Kono mengatakan, para pelatih Indonesia sudah paham konsekuensi ini sehingga tidak mungkin curang saat tahap divisioning. Jennika, misalnya, sudah tampil maksimal saat divisioning dan tetap dimasukkan ke Grup B. Adapun Grup A dihuni atlet yang relatif sepadan dengan Jennika.
”Masalahnya adalah tidak banyak yang mengetahui parameter dalam divisioning,” katanya. Berbeda dengan paralimpiade, kata Ferry, mengukur kemampuan atlet disabilitas intelektual jauh lebih sulit. Keterbatasan aspek intelektual lebih sulit diukur daripada keterbatasan fisik.
Masalah ini harus menjadi perhatian besar bagi Indonesia, yang menjadi kandidat kuat tuan rumah Olimpiade Khusus Asia Pasifik tahun 2021. Ajang yang digelar di Abu Dhabi, 14-21 Maret 2019, ini setidaknya menjadi pelajaran penting agar pesta untuk para difabel intelektual bisa terselenggara dengan lebih adil.
(Herpin Dewanto Putro dari Abu Dhabi, Uni Emirat Arab)