JAKARTA, KOMPAS — Komite Nasional Keselamatan Transportasi membantah telah menyebarkan isi rekaman cockpit voice recorder Lion Air JT-610 PK-LQP yang jatuh di lepas pantai Tanjung Karawang. Mereka menyebut isi rekaman yang sesungguhnya tidak sama dengan yang dipublikasikan Reuters beberapa waktu lalu.
Pada Rabu (20/3/2019), Reuters memberitakan, pilot Lion Air JT-610 PK-LQP sempat kebingungan mengendalikan pesawat dan mencoba mencari petunjuk di buku pegangan manual. Disebutkan pula, pilot sempat berteriak histeris sebelum pesawat jatuh menghantam laut.
Adapun Bloomberg, pada Rabu (20/3/2019), memberitakan ada pilot ketiga di kokpit Lion Air PK-LQP saat pesawat melakukan penerbangan dari Denpasar menuju Jakarta sehari sebelum pesawat itu jatuh. Reuters dan Bloomberg menyebutkan, informasi itu didapatkan dari rekaman cockpit voice recorder (CVR).
Ketua Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT) Soerjanto Tjahjono, Kamis (21/3), di Jakarta, menyatakan, isi rekaman CVR Lion Air JT-610 PK-LQP tidak sama dengan yang dikutip sejumlah media. Menurut dia, isi berita tersebut merupakan opini seseorang yang dibuat seolah-olah seperti isi CVR.
"Di media beredar berita yang menyebut sebagai isi CVR penerbangan JT-610 dan JT-043. Padahal, hasil unduhan CVR menunjukkan, alat itu hanya merekam persiapan hingga akhir penerbangan JT-610," kata Soerjanto.
Meskipun begitu, ia membenarkan ada pilot lain yang berada di kokpit saat pesawat Lion Air PK-LQP terbang dari Denpasar ke Jakarta. Menurut Soerjanto, hal itu tidak menyalahi prosedur penerbangan.
"Pilot yang bersangkutan sudah dimintai keterangan. Namun, sesuai Pasal 359 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2009, pernyataan dari seseorang yang diperoleh selama proses investigasi tidak boleh dipublikasikan," kata Soerjanto.
Kode penerbangan JT-043 menunjukkan jalur penerbangan terakhir Lion Air PK-LQP dari Denpasar menuju Jakarta yang dilalui dengan selamat. Adapun kode penerbangan JT-610 adalah jalur penerbangan pesawat tipe Boeing 737-8 (Max) itu dari Jakarta menuju Pangkal Pinang sebelum pada akhirnya pesawat itu jatuh di lepas pantai Tanjung Karawang pada Senin (29/3/2018).
Ketua Sub-Komite Investigasi Kecelakaan Penerbangan KNKT Nurcahyo mengatakan, berdasarkan Undang-Undang, pembicaraan yang terekam CVR tidak boleh dipublikasikan. Namun, bagian rekaman yang signifikan dan esensi pembicaraan di kokpit terkait penyebab kecelakaan boleh dipublikasikan.
"Saya tidak cerita isi CVR-nya. Ketika saya ditanya apakah mereka panik, berdasarkan isi CVR yang saya tangkap, mereka tidak panik," kata Nurcahyo.
Ia menambahkan, data rekaman CVR tersebut disimpan di server KNKT yang tidak terkoneksi internet. Boeing dan Lembaga Administrasi Penerbangan (FAA) Amerika Serikat dipastikan tidak memiliki salinan rekaman tersebut.
Investigasi
Hasil Investigasi KNKT bersama Boeing dan FAA akan disampaikan pada Agustus atau September 2019. Sebelumnya, ketiga pihak itu telah menyelidiki sistem manuvering characteristic augmentation system (MCAS) yang dicurigai sebagai penyebab kecelakaan Lion Air PK-LQP.
"KNKT sudah berdiskusi dengan Boeing soal desain 737-8 (Max). Dari hasil diskusi, proses desain itu sudah mengikuti prosedur yang ada. Namun, yang saat berkembang kemungkinan besar MCAS ini bermasalah," kata Nurcahyo.
Keraguan soal sistem MCAS tersebut mengemuka setelah sebuah pesawat Boeing 737-8 (Max) jatuh di Etiopia pada Minggu (10/3/2019). Untuk itu, KNKT mengajukan penawaran kerja sama investigasi dengan otoritas penerbangan Ethiopia.
Mengutip berita yang dilansir The New York Times pada 13 November, Boeing diduga lalai melatih pilot 737-MAX 8 memahami cara kerja sistem MCAS di pesawat itu. Sistem baru itu dirancang menurunkan pesawat secara otomatis jika pesawat dirasa terlalu cepat menanjak ke atas.
Sistem MCAS itu sebenarnya bisa dinonaktifkan secara manual oleh pilot jika dirasa ”hidung” pesawat terlalu menghujam. Hanya saja, Boeing belum melatih pilot untuk memahami sistem baru itu. Kesalahan operasi pada sistem itu bisa membuat pesawat meluncur ke bawah tanpa mampu dikendalikan.