Lebih Berani dari AS, Selandia Baru Larang Senjata Semi-otomatis
Oleh
ADHITYA RAMADHAN
·5 menit baca
CHRISTCHURCH, KAMIS — Selandia Baru akan melarang kepemilikan senjata semi-otomatis bergaya militer dan senapan serbu dengan undang-undang baru yang ketat setelah terjadi penembakan terhadap warga Muslim saat shalat Jumat yang menelan korban 50 orang, 15 Maret lalu. Setelah penembakan itu, Perdana Menteri Selandia Baru Jacinda Ardern langsung menyebut bahwa akan ada perubahan undang-undang yang mengatur kepemilikan senjata.
”Hari ini saya mengumumkan bahwa Selandia Baru akan melarang kepemilikan semua senjata semi-otomatis bergaya militer. Kami juga akan melarang semua jenis senapan serbu,” kata Ardern, Kamis (21/3/2019).
”Konsekuensi pelarangan ini adalah, artinya tidak seorang pun bisa membeli jenis senjata tersebut tanpa izin dari kepolisian. Saya bisa memastikan bahwa tidak ada gunanya mengajukan izin kepemilikan senjata.”
”Pada 15 Maret, sejarah kita berubah selamanya. Kini, hukum kita juga berubah. Kami mengumumkan tindakan hari ini atas nama semua warga Selandia Baru untuk memperketat undang-undang kepemilikan senjata dan menjadikan negara kita sebagai tempat yang lebih aman,” kata Ardern dalam jumpa pers.
Ardern mengatakan, dirinya berharap undang-undang yang baru akan berlaku mulai 11 April 2019, dan skema pembelian kembali akan dibuat untuk senjata yang dilarang. Skema ini memerlukan anggaran hingga 200 juta dollar Selandia Baru atau sekitar 138 juta dollar AS.
Pada 15 Maret, sejarah kita berubah selamanya. Kini, hukum kita juga berubah.
Mereka yang tetap menyimpan senjatanya setelah periode transisi perubahan undang-undang akan dijatuhi denda maksimal 4.000 dolar AS dan pidana tiga tahun penjara. Dengan undang-undang baru itu, semua senjata semi-otomatis gaya militer (MSSA) dan senapan serbu akan dilarang beserta bagian-bagian yang digunakan untuk mengubah senjata menjadi MSSA dan magasin berkapasitas besar.
Lebih berani dari AS
Keputusan yang diambil Ardern terkait pelarangan senjata semi-otomatis itu langsung dibandingkan dengan kasus di Amerika Serikat (AS). Di AS, meski kerap terjadi penembakan massal, langkah pengetatan kepemilikan senjata masih terus menjadi bahan perdebatan.
Sejumlah pakar senjata mengatakan, pelarangan di Selandia Baru mendapat dukungan luas. Polly Collins, warga Christchurch, mengaku tergetar mendengar pengumuman Ardern saat dirinya mengunjungi lokasi untuk mengenang para korban penembakan dalam insiden 15 Maret lalu.
”Perdana menteri luar biasa,” ujar Collins. Perempuan ini menambahkan, ”Tidak seperti di Amerika, tempat semua kejadian seperti ini sering terjadi dan lalu mereka berkata, ’Oh yeah, kita akan menanganinya dengan undang-undang senjata, dan tidak ada yang dilakukan.”
Salah satu ritel senjata terbesar di Selandia Baru, Hunting & Fishing New Zealand, menyatakan mendukung ”langkah apa pun oleh pemerintah untuk secara permanen melarang senjata-senjata tersebut”.
”Dulu kami memang pernah menjual senjata-senjata itu kepada beberapa pelanggan, (tetapi) kejadian pekan lalu memaksa kami mempertimbangkan ulang, yang membuat kami percaya bahwa senjata-senjata seperti itu tidak punya tempat dalam bisnis kami, atau di negara kami,” kata Darren Jacobs, Direktur Eksekutif Hunting & Fishing New Zealand, dalam pernyataan tertulis.
Ia menegaskan, perusahaannya tidak akan menyetok lagi senapan jenis serbu apa pun dan akan menghentikan penjualan daring.
Apa yang dilakukan (Arden) adalah sebuah langkah yang sangat berani.
”Apa yang dilakukan (Arden) adalah sebuah langkah yang sangat berani, dan jenis tindakan yang hanya bisa dilakukan di negara yang undang-undangnya menyatakan (kepemilikan) senjata bukanlah hak," kata Alexander Gillespie, profesor hukum internasional di Universitas Waikato, Selandia Baru.
”(Memiliki) senjata adalah sebuah hak khusus. Ketika ada hak (memilikinya) secara hukum, seperti di Amerika Serikat, (pelarangan) ini bakal jauh lebih sulit,” lanjut Gillespie.
Di bawah undang-undang kepemilikan senjata Selandia Baru yang ada sekarang, kategori senjata kategori A bisa berupa senjata semi-otomatis, tetapi terbatas pada kapasitas tujuh peluru. Sebuah video berisi kejadian penembakan pada 15 Maret lalu menunjukkan, pelaku penembakan menggunakan senjata semi-otomatis dengan magasin berkapasitas banyak.
Australia telah melarang senjata semi-otomatis dan mengeluarkan skema pembelian kembali menyusul penembakan massal di Port Arthur tahun 1996 yang menewaskan 35 orang.
Izin kepemilikan diperketat
Ardern mengatakan, sama dengan Australia, undang-undang yang baru akan memberikan izin kepemilikan senjata secara ketat untuk hal-hal tertentu, seperti bagi petani untuk mengontrol hama dan kesejahteraan hewan. "Saya benar-benar yakin, mayoritas pemilik senjata yang sah di Selandia Baru akan memahami bahwa langkah ini diambil untuk kepentingan nasional, dan mereka akan turut dalam perubahan ini,” ujar dia.
Di Selandia Baru, negara berpopulasi kurang dari 5 juta jiwa, diperkirakan terdapat 1,2-1,5 juta pucuk senjata yang beredar. Lebih kurang 13.500 di antaranya adalah senjata jenis MSSA.
Sebagian besar petani di negara itu memiliki senjata untuk membasmi hama, seperti hewan semacam tarsius dan kelinci, serta untuk menembakkan bius pada hewan peliharaan yang terluka guna diobati.
Di negara tersebut, perburuan rusa, babi, dan kambing juga terkenal untuk olahraga dan makanan. Selain itu, klub-klub menembak dan lapangan-lapangan tembak tersebar di seluruh wilayah negara itu. Hal ini sempat memunculkan lobi kuat untuk menggagalkan upaya memperketat kepemilikan senjata di Selandia Baru dan sejumlah negara.
Dukung perubahan
Federasi petani yang mewakili ribuan petani di Selandia Baru menyatakan akan mendukung perubahan undang-undang kepemilikan senjata oleh pemerintah.
”Ini tidak akan populer di antara anggota kami, tetapi… kami percaya langkah ini merupakan satu-satunya jalan keluar yang praktis,” kata juru bicara Federasi Keamanan Petani Pedesaan, Miles Anderson.
Perubahan undang-undang itu tidak termasuk dua kategori umum senjata yang biasa dipakai untuk berburu, pengendalian hama, pengaturan hewan peliharaan, dan menembak angsa.
”Saya punya senjata bergaya militer, tapi sebenarnya saya tidak benar-benar sering memakainya. Saya tidak benar-benar membutuhkannya,” ujar Noel Womersley, seorang jagal sapi di dekat Christchurch. ”Jadi, saya cukup senang menyerahkan senjata yang saya miliki ini,” katanya.
Menurut Ardern, tahap selanjutnya dari perubahan undang-undang adalah registrasi dan lisensi senjata api. (REUTERS/AP/AFP)