JAKARTA, KOMPAS — Pembangunan harus berlandaskan pada nilai-nilai Pancasila. Pancasila perlu dijadikan paradigma untuk ”meneropong” berbagai persoalan dan mencari solusi yang tepat untuk membangun karakter bangsa serta menata ulang sistem sosial dan politik yang semrawut setelah kontestasi politik yang berkepanjangan.
Nilai-nilai dasar Pancasila pun tidak cukup hanya dilihat sebagai ideologi normatif semata, tetapi dibumikan ke dalam indikator-indikator konkret dalam merumuskan konsep pembangunan ke depan.
Guru Besar Fakultas Ekonomi Universitas Indonesia Emil Salim dalam diskusi ”Mengukuhkan Kebangsaan yang Berperadaban: Menuju Cita-cita Nasional dengan Paradigma Pancasila” di Jakarta, Rabu (20/3/2019), mengatakan, kelima sila Pancasila dapat dijabarkan secara konkret dan kuantitatif untuk menjadi tolok ukur yang mengidentifikasi permasalahan bangsa dan negara serta mencari solusinya.
Ia mencontohkan pembangunan terhadap produk domestik bruto (PDB) negara yang tidak bisa hanya berorientasi pada capaian angka semata, tetapi juga memperhatikan implementasi sila ketiga Persatuan Indonesia di dalamnya. Meskipun PDB 2018 meningkat, masih ada ketimpangan kontribusi dari Pulau Jawa sebesar 58,49 persen, sementara Papua menyumbang 2,42 persen.
”Dengan pola pikir Pancasila, cara kita melihat problematik pembangunan menjadi berbeda. Ketika kita memandang PDB, kita harus memandangnya lewat paradigma sila Persatuan Indonesia, bahwa jumlah pendapatan yang dihasilkan pulau-pulau itu semakin lama harus semakin berimbang, bahwa Jawa 58 persen dan Papua 2 persen itu berarti masih ada yang salah, harus ada ikhtiar perbaikan,” kata Emil Salim.
Sistem sosial politik
Implementasi sila Pancasila juga perlu diterapkan dalam pembenahan sistem sosial dan politik serta karakter bangsa pascapemilu. Di tengah iklim kontestasi politik yang berkepanjangan, setidaknya dalam empat tahun terakhir Indonesia menghadapi erosi karakter kebangsaan, seperti nilai-nilai kebersamaan, kemanusiaan, dan persatuan yang semakin hilang di masyarakat.
Menurut pengurus Aliansi Kebangsaan, I Dewa Putu Rai, kohesi sosial yang selama ini menjadi pengikat keberagaman dan persatuan Indonesia sedang bermasalah. Mengacu pada survei Litbang Kompas pada 17-19 Mei 2017 terhadap 512 responden di 14 kota besar di Indonesia, mayoritas responden atau 49,8 persen mengakui solidaritas sosialnya semakin melemah.
Kondisi itu bisa dibenahi dengan paradigma yang berpatok kembali pada nilai-nilai Pancasila yang tecermin dari sila pertama sampai ketiga. ”Kita seolah berdiri di atas tanah aluvial yang rentan dengan guncangan sosial. Karakter bangsa dan kebesaran jiwa itu harus kembali dipupuk karena kondisi sekarang menunjukkan, pada kenyataannya, solidaritas sosial dan toleransi masyarakat kita berkurang,” kata I Dewa.
Pekerjaan rumah berikutnya yang menanti pascapemilu adalah menata ulang ranah institusi politik. Ini menjadi penting karena, menurut anggota Aliansi Kebangsaan, Yudi Latif, suatu bangsa menghadapi kegagalan jika salah desain kelembagaan dan tata kelola pemerintahan. Untuk membenahi ranah institusi politik, ujarnya, sila keempat perlu menjadi landasan.
Terkait dengan ini, ujarnya, perlu ada penurunan nilai-nilai Pancasila dalam bentuk kuantitatif sebagai landasan pembangunan agar implementasi Pancasila lebih menyerap secara konkret dalam berbagai rancangan pembangunan.
Senada, Ketua Forum Rektor Indonesia Dwia Aries Tina Pulubuhu menyoroti fenomena depolitisasi berbangsa dan bernegara dewasa ini. Kontestasi politik yang memanas, mulai dari Pemilu 2014, Pilkada 2017-2018, sampai Pemilu 2019, membuat segala sesuatu dipandang dari aspek politik pragmatis.
”Pilpres sebagai wujud sila kedaulatan rakyat yang seharusnya menghadirkan orang-orang terbaik seolah ditertawakan karena sekarang muncul animo di mana-mana untuk memilih calon yang paling sedikit jeleknya, bukan memilih yang paling baik di antara (calon) yang baik,” ujar Dwia.
Kondisi itu cenderung mengabaikan adanya permasalahan dan kerapuhan di sistem demokrasi dan politik saat ini. Ia mencontohkan sistem presidensial yang rapuh dengan dominasi parlemen yang menguat, krisis kepemimpinan negara yang lemah, serta kelembagaan partai politik sebagai penghasil kebijakan dan pemimpin yang oligarkis, sentralistik, dan korup.
Kondisi ini menjadi tantangan yang harus segera dibenahi pascapemilu, dengan tetap berlandaskan pada nilai Pancasila. Jika tidak, Indonesia akan terus berjalan di tempat atau justru mengambil langkah mundur.
”Produk kepemimpinan, kebijakan, dan undang-undang semua berasal dari partai politik. Kalau dapurnya saja tidak benar, bagaimana mau menghasilkan pemimpin dan kebijakan yang kuat,” ujar Dwia.