Survei ”Kompas”, Kecurangan Perlu Diantisipasi dalam Pertarungan Parpol yang Kian Ketat
Oleh
PRADIPTA PANDU
·3 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Elektabilitas setiap partai politik tidak terlalu terpaut jauh sehingga berpotensi menyajikan pertarungan ketat pada pemilihan umum serentak 17 April 2019. Namun, sisi lain pertarungan ketat itu dapat menimbulkan kecurangan.
Kecurangan itu bisa terjadi dalam pemungutan ataupun penghitungan suara. Karena itu, kecurangan tersebut perlu diantisipasi agar tidak mencederai jalannya demokrasi.
Berdasarkan hasil survei Litbang Kompas pada Kamis (21/3/2019), Partai Demokrasi Indonesia Perjuangan (PDI-P) menjadi parpol dengan elektabilitas tertinggi, yakni 26,9 persen. Partai Gerakan Indonesia Raya (Gerindra) menempati posisi kedua dengan elektabilitas 17 persen.
Partai Golongan Karya (Golkar) berada di urutan ketiga dengan elektabilitas 9,4 persen. Kemudian menyusul Partai Kebangkitan Bangsa (PKB) 6,8 persen, Partai Demokrat 4,6 persen, dan Partai Keadilan Sejahtera (PKS) 4,5 persen. Hanya keenam partai itu elektabilitas mereka langsung memenuhi ambang batas parlemen 4 persen.
Survei itu dilakukan Litbang Kompas pada akhir Februari hingga awal Maret 2019 dengan melibatkan 2.000 responden di 34 provinsi dan margin of error +/- 2,2 persen.
Direktur Eksekutif Perkumpulan untuk Pemilu dan Demokrasi (Perludem) Titi Anggraini, di Jakarta, Kamis, menilai, pertarungan perebutan kursi parlemen pada Pemilu 2019 akan jauh lebih ketat dibandingkan dengan Pemilu 2014. Hal ini karena naiknya ambang batas parlemen dari 3,5 persen pada Pemilu 2014 menjadi 4 persen di Pemilu 2019 dan jumlah partai peserta Pemilu 2019 makin banyak.
”Bisa dibilang pascareformasi ini adalah pemilu paling kompleks, rumit, dan kompetitif bagi Indonesia. Kompleksitas ini contohnya dari sisi teknis dan diperkirakan waktu pungut hitung akan makan waktu lama, melampaui satu hari yang sama,” katanya.
Titi menuturkan, kompleksitas Pemilu 2019 ditambah dengan ketatnya persaingan antarpartai berpotensi menimbulkan kecurangan saat pemungutan dan penghitungan suara. Potensi kecurangan semakin besar karena pendidikan politik, kaderisasi parpol, dan penegakan hukum bagi pelanggaran pemilu belum sepenuhnya berjalan optimal.
Persaingan yang ketat ini membuat sejumlah partai dan calon anggota legislatif melakukan politik transaksional. Misalnya dengan membagi-bagikan uang di masa tenang atau serangan fajar hingga menyuap penyelenggara pemilu.
Persaingan yang ketat ini membuat sejumlah partai dan calon anggota legislatif melakukan politik transaksional. Misalnya dengan membagi-bagikan uang di masa tenang atau serangan fajar hingga menyuap penyelenggara pemilu.
Oleh karena itu, lanjut Titi, petugas di tingkat tempat pemungutan suara (TPS) perlu didukung dengan kontrol dari saksi peserta pemilu dan pengawasan masyarakat. Desain TPS yang terbuka, transparan, dan akuntabel ini juga dapat mencegah terjadinya kecurangan sehingga proses pemilu lebih berintegritas.
”Desain itu hanya akan bisa optimal fungsinya jika peserta pemilu melalui kader-kadernya dan juga masyarakat mau ambil bagian dan partisipasi menguasai proses. Sebab, transparansi dan keterbukaan akan punya makna kalau publik ikut ambil bagian untuk berpartisipasi,” ujarnya.
Pengamat politik dari Universitas Gadjah Mada, Mada Sukmajati, juga sependapat mengenai besarnya potensi kecurangan saat pemilu nanti. Namun, menurut dia, banyaknya kecurangan tersebut bukan terjadi dalam konteks pertarungan antarkandidat di luar partai politik, melainkan juga di satu partai yang sama.
Banyaknya kecurangan tersebut bukan terjadi dalam konteks pertarungan antarkandidat di luar partai politik, melainkan juga di satu partai yang sama.
”Pileg itu bukan pertarungan antarparpol, tetapi antarkandidat sehingga bisa jadi transaksi politik di satu partai itu bisa terjadi. Selain itu, transaksi politik mungkin saja dilakukan karena partai sudah pesimistis tidak bisa lolos ambang batas pemilu,” tuturnya.
Sebelumnya, anggota Badan Pengawas Pemilihan Umum (Bawaslu), Fritz Edward Siregar, memastikan potensi politik uang dan jual beli suara pada Pemilu 2019 akan minim terjadi. Sebab, Panitia Pemilihan Kecamatan (PPK), Panitia Pemungutan Suara (PPS), dan Kelompok Penyelenggara Pemungutan Suara (KPPS) yang ada saat ini telah bertugas juga pada pemilu-pemilu sebelumnya. Mereka telah berpengalaman mengantisipasi berbagai kecurangan itu terjadi.