Kementerian Pariwisata merevisi target perolehan devisa pariwisata tahun 2019. Sebelumnya, wisatawan mancanegara ditargetkan sebanyak 20 juta kunjungan ke Indonesia dengan perolehan devisa 20 miliar dollar AS. Kini, target direvisi menjadi 20 juta kunjungan dengan perolehan devisa 17,6 miliar dollar AS.
Revisi dilakukan karena beberapa tahun terakhir target yang ditetapkan tidak tercapai. Pada 2018, misalnya, berdasarkan data Badan Pusat Statistik, ada 15,81 juta kunjungan wisatawan mancanegara ke Indonesia. Kendati jumlah kunjungan itu meningkat 12,58 persen secara tahunan, itu masih di bawah target yang sebanyak 17 juta kunjungan.
Alasannya antara lain terjadi beberapa bencana alam yang membuat banyak wisatawan mancanegara menangguhkan atau membatalkan rencana berlibur ke Indonesia. Beberapa negara juga mengeluarkan peringatan perjalanan kepada warga negara mereka terkait dengan bencana alam ini.
Sebenarnya, revisi target devisa ini disayangkan. Akan lebih baik jika yang direvisi adalah jumlah kunjungan wisatawan mancanegara. Sebaliknya, target perolehan devisa tetap dipertahankan. Itu karena pariwisata digadang-gadang sebagai sumber penghasil devisa baru yang mengalahkan minyak dan gas, batubara, serta kelapa sawit. Selain itu, pendapatan negara dari devisa pariwisata juga jauh lebih menguntungkan dibandingkan dengan jumlah kunjungan.
Kendati sudah direvisi, Kementerian Pariwisata tetap tidak bisa santai sebab apa pun bisa terjadi karena sektor pariwisata sangat rentan terhadap isu.
Sejumlah kegiatan harus terus dilaksanakan dan dipantau perkembangannya. Tiga pilar utama pariwisata, yakni aksesibilitas, atraksi, dan amenitas, harus benar-benar diperhatikan. Pengembangan ketiga hal ini juga harus memperhatikan sektor-sektor lain. Kementerian Pariwisata juga mesti bersinergi dan berkolaborasi dengan sejumlah kementerian lain agar hasilnya maksimal.
Tiga pilar utama pariwisata, yakni aksesibilitas, atraksi, dan amenitas, harus benar-benar diperhatikan.
Pada saat Kementerian Pariwisata menetapkan Singapura sebagai titik kumpul regional, harus duduk bareng dengan Kementerian Perhubungan dan maskapai. Duduk bersama itu untuk memastikan penerbangan langsung bisa mendongkrak angka kunjungan wisatawan mancanegara, tetapi tidak mematikan penerbangan domestik.
Selain itu, jika ingin mengubah status sebuah bandara menjadi bandara internasional mesti mempertimbangkan investasi yang dikeluarkan. Investasi ini tidak hanya berupa peralatan untuk imigrasi, bea cukai, dan karantina, tetapi juga investasi sumber daya manusia. Jangan sampai semua investasi sudah disediakan, tetapi tidak ada maskapai yang terbang dari luar negeri ke bandara itu karena tidak ada penumpang.
Persyaratan teknis keselamatan bandara juga harus diperhatikan mengingat persyaratan bandara internasional berbeda dengan bandara domestik. Bukan sekadar menempelkan kata internasional di papan nama bandara.
Upaya yang mesti dilakukan Kementerian Pariwisata adalah membuat atraksi menarik bagi wisatawan mancanegara. Dibantu dinas pariwisata selaku pemilik daerah, atraksi atau destinasi yang ditampilkan harus menarik dan berstandar internasional. Membuat atraksi yang menarik tentu perlu modal. Saat ini sudah tersedia kredit usaha rakyat (KUR) yang memungkinkan masyarakat atau usaha mikro, kecil, dan menengah (UMKM) mempunyai modal untuk membuat cendera mata yang lebih bagus, tempat penginapan yang menarik dan bersih, serta usaha wisata lainnya.
Dengan layanan yang baik, cendera mata yang berkualitas, atraksi yang menarik, serta destinasi yang berkelanjutan, wisatawan akan suka. Selanjutnya, mereka akan mempromosikan daerah wisata tersebut kepada calon-calon wisatawan lainnya. Jika standar yang diterapkan adalah standar global dan upaya untuk berstandar global sangat kuat, tentu wisatawan mancanegara akan tinggal lebih lama dan berbelanja lebih banyak sehingga devisa yang masuk meningkat.
Selanjutnya, wisatawan mancanegara akan berdatangan dan menghabiskan masa liburnya di Indonesia. Indonesia pun akan mendapat manfaatnya. (M Clara Wresti)