Bisnis Waralaba Berpotensi Dorong Peningkatan Ekonomi
Oleh
Emilius Caesar Alexey
·4 menit baca
JAKARTA, KOMPAS — Peningkatan ekonomi serta penciptaan lapangan kerja padat karya dapat dipacu melalui pengembangan bisnis waralaba (franchise). Untuk mencapainya, diperlukan sinergitas peran antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat.
”Lesunya perekonomian Indonesia memang menjadi pemberitaan akhir-akhir ini. Namun, kami sebagai wirausahawan merasakan hal berbeda. Waralaba tetap bertumbuh dan berkontribusi menjadi roda penggerak perekonomian dan penciptaan lapangan pekerjaan,” ujar Ketua Asosiasi Franchise Indonesia Andrew Nugroho, di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Sambutan itu disampaikan dalam pembukaan dan peresmian Info Franchise and Business Concept (IFBC) Expo 2019. Pameran dengan tajuk ”Gelora Wirausaha Nasional” ini akan berlangsung selama tiga hari, 22-24 Maret 2019, di empat kota besar, yaitu Jakarta, Bandung, Surabaya, dan Semarang. Terdapat 110 pewaralaba yang mengikuti ajang itu.
Lebih lanjut, Andrew menuturkan, dalam tahun ke-14, penyelenggaraan IFBC diharapkan memberikan optimisme dan semangat bahwa waralaba Indonesia adalah industri yang kuat dan berkesinambungan. Tidak hanya pameran, kegiatan IFBC juga akan memberikan pengetahuan berbisnis waralaba melalui berbagai seminar.
”Kami ingin meningkatkan kesadaran para wirausahawan bahwa tantangan akan semakin berat. Tantangan bagaimana menjadi pelaku usaha unggul yang mampu menciptakan produk berdaya saing global. Maka, diperlukan program pembinaan, konsultasi, fasilitasi, hingga pendampingan,” ujar Andrew.
Dalam kesempatan yang sama, Direktur Bina Usaha dan Pelaku Distribusi Kementerian Perdagangan I Gusti Ketut Astawa menyampaikan hal senada. Ia menilai, meski dalam lima tahun terakhir tren pertumbuhan ekonomi Indonesia melambat, itu masih mencatatkan pertumbuhan.
Kementerian Perdagangan mencatat, dalam lima tahun terakhir, pertumbuhan domestik bruto Indonesia sebesar 5,01 persen (2014), 4,88 persen (2015), 5,03 persen (2016), 5,07 persen (2017), dan 5,17 persen (2018).
”Meski lambat, selama masih ada pertumbuhan, berarti ekonomi kita bergerak. Maka, tidak ada alasan untuk pesimistis dalam perkembangan ekonomi Indonesia. Ini menjadi tantangan bersama kita,” papar Ketut.
Dalam meningkatkan perekonomian, sinergitas antara pemerintah, pelaku usaha, dan masyarakat untuk semakin mencintai produk dalam negeri sangat dibutuhkan. Ketut mengatakan, sebagai pembuat regulasi, pemerintah akan terus memberikan kemudahan izin berbisnis yang tetap menjunjung legalitas.
”Bagi pelaku usaha, harus terus meningkatkan kompetensi agar dapat mengambil berbagai peluang usaha yang ada. Jangan sampai peluang itu diambil pelaku usaha luar negeri,” ujar Ketut.
Data Kementerian Perdagangan, proporsi pemberi waralaba dalam negeri dan luar negeri tak jauh berbeda. Data tahun 2014 hingga 2018, tercatat ada 74 pemberi waralaba dalam negeri dan 70 pemberi waralaba luar negeri.
Waralaba dari luar negeri didominasi bidang usaha jasa makanan dan minuman, seperti gerai penjualan makanan ringan, kafetaria, dan restoran, yang menyumbang 65,2 persen dari keseluruhan waralaba luar negeri yang terdaftar dan beroperasi di Indonesia. Sementara dari Indonesia, waralaba jasa makanan dan minuman menyumbang 40,3 persen.
”Masih besar peluang pelaku usaha Indonesia yang dapat bermain di bisnis waralaba. Peningkatan kompetensi pelaku dan kualitas produk mutlak dilakukan agar bisnis waralaba bertahan dan terus bertumbuh,” ujar Ketut.
Sejalan dengan ini, Ketua Emeritus Asosiasi Franchise Indonesia Anang Sukandar mengemukakan, perlu komitmen dan keuletan para pelaku usaha bisnis waralaba, khususnya bagi yang baru memulai. Suatu usaha dapat dikatakan sebagai bisnis waralaba jika sudah bertahan setidaknya lima tahun.
”Orang Indonesia itu cepat puas. Ketika sudah memulai suatu usaha, banyak yang puas ketika menghasilkan uang yang dapat memenuhi kebutuhan hidupnya. Misalnya, tukang jahit, kecenderungannya hanya melakukan usaha secara mandiri,” ujar Anang.
Padahal, jika terus dikembangkan, bisnis waralaba sangat menjanjikan. Seperti halnya waralaba Indomaret yang memiliki 17.000 gerai, 4.500 waralaba, yang mempekerjakan sekitar 10 orang di setiap gerai. Demikian juga dengan Alfamart yang memiliki 14.000 gerai, 3.600 waralaba, serta mempekerjakan 10 orang di setiap gerai.
Tak hanya itu, Es Teler 77 juga telah membuka 175 gerai dengan jumlah karyawan mencapai 2.500 orang. Selain itu, gerai ini pun menggunakan produk lokal dalam memasok kebutuhan, misalnya kelapa dan alpukat, yang di sisi lain telah memberdayakan petani lokal.
”Memang jika kita berkomitmen dan ulet dalam membangun bisnis, tidak hanya dapat meningkatkan nilai ekonomi, tetapi juga nilai sosial. Waralaba sangat berpotensi dalam menciptakan lapangan kerja bagi masyarakat, setidaknya dapat memberikan pekerjaan bagi orang sekitarnya,” papar Anang. (SHARON PATRICIA)