JAKARTA, KOMPAS — Generasi muda dinilai kurang peduli terhadap kondisi perpolitikan di Indonesia. Padahal, keterlibatan mereka berpengaruh dalam menentukan arah kebijakan nasional.
Hal itu mengemuka dalam diskusi yang diadakan Atma Jaya Institute of Public Policy bertajuk ”Politisi Milenial Menjawab Tantangan Bonus Demografi” di Jakarta, Jumat (22/3/2019).
Juru Bicara Partai Solidaritas Indonesia (PSI) Dedek Prayudi mengatakan, generasi muda perlu terlibat aktif dalam dunia politik sejak dini. Hal itu disebabkan generasi muda menjadi harapan ke depan dalam menentukan arah kebijakan di era bonus demografi.
Indonesia akan memasuki era bonus demografi pada kurun waktu 2020 sampai 2040. Artinya, kondisi masyarakat Indonesia dengan proporsi anak-anak di bawah usia 15 tahun terus menurun, sementara proporsi usia kerja meningkat, dan proporsi warga lansia rendah. Kondisi ini berpotensi mendorong terwujudnya kesejahteraan dan mencapai tujuan pembangunan. Untuk itu, partisipasi generasi muda sangat dibutuhkan.
Dedek menjelaskan, apabila generasi muda tidak mau mengenal dunia politik sejak dini, bisa dipastikan hal itu berpengaruh dalam proses regenerasi pemimpin tahun-tahun berikutnya yang seharusnya diisi generasi muda.
Seperti diketahui, untuk menduduki jabatan legislatif dan eksekutif di Indonesia, seseorang harus melewati jalur pemilihan umum dan diusung oleh partai politik. Kemampuan melobi dan memengaruhi orang lain dibutuhkan agar dapat dicalonkan untuk menduduki jabatan legislatif dan eksekutif.
Meski generasi muda cenderung beridealisme tinggi, Dedek berharap agar mereka jangan apatis terhadap dunia politik. ”Kalaupun tidak bersedia terjun ke dalam partai politik, setidaknya mereka tidak golput dalam pemilihan umum nanti,” ujar Dedek.
Berpolitik pengetahuan
Wakil Sekretaris Jenderal Partai Amanat Nasional (PAN) Faldo Maldini berpendapat, citra dunia politik saat ini masih buruk di mata publik. Menurut dia, hal itu terjadi karena banyak anggota dewan perwakilan rakyat pusat maupun daerah yang ditangkap Komisi Pemberantasan Korupsi (KPK).
Untuk memperbaiki citra buruk tersebut, Faldo berharap, proses berpolitik ke depan agar melibatkan lebih banyak generasi muda yang cerdas. Gagasan kritis dari mereka perlu diakomodasi dalam sebuah diskusi yang menghasilkan pandangan berkualitas.
”Semoga politisi muda semakin pintar dan cerdas dalam berpolitik. Ke depan, politik harus dipenuhi dengan ilmu dan pengetahuan bukan lagi hanya berbasis kopi dan memiliki uang banyak,” kata Faldo.
Sementara itu, Ketua DPP Divisi Pemberdayaan Perempuan Partai Golkar Puteri Annette Komaruddin mengatakan, citra buruk koruptor yang melekat pada anggota legislatif seharusnya menggerakkan generasi muda untuk memperbaiki kondisi itu. Puteri pun mengajak generasi muda untuk terlibat dan mengubah citra itu.
”Mari berpikir bagaimana caranya menyejahterakan masyarakat. Para generasi muda apa pun bidang yang dimilikinya harus berani terjun ke lapangan dan mengambil risiko,” ucapnya. (MELATI MEWANGI)