JAKARTA, KOMPAS — Kemitraan dengan aplikasi digital menjadi pilihan bagi angkatan kerja berlatar belakang pendidikan menengah ke bawah untuk meningkatkan penghasilan. Mereka optimistis, pendapatan yang diperoleh mampu menunjang biaya hidup bersama keluarga.
Berdasarkan laporan riset Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia, ”Dampak Go-Jek terhadap Perekonomian Indonesia pada Tahun 2018”, sekitar 80 persen mitra menggantungkan hidup kepada Go-Jek. Dengan kata lain, mereka menjadikan kemitraan dengan Go-Jek sebagai pekerjaan utama untuk menghidupi diri sendiri dan bersama keluarga. Mayoritas mereka berusia 21-40 tahun dan berlatar belakang pendidikan SMA ke bawah.
”Mereka (para mitra) dapat dikatakan pekerja informal yang ingin memperoleh penghasilan hidup lebih baik. Jumlah mereka yang mayoritas berlatar belakang sekolah menengah ke bawah sejalan dengan realitas angkatan kerja Indonesia,” ujar Alfindra Primaldhi, peneliti Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis Universitas Indonesia (UI), Kamis (21/3/2019), di Jakarta.
Penelitian itu melibatkan 6.732 responden mitra Go-Jek, yang terdiri dari 3.886 orang mitra khusus layanan Go-Ride, 1.010 orang mitra pengemudi Go-Car, 1.000 orang UMKM kuliner mitra Go-Food, serta 836 orang mitra Go-Clean dan Go-Massage. Sampel tersebut mewakili populasi mitra di sembilan kota, yakni Balikpapan, Bandung, Denpasar, Jabodetabek, Makassar, Medan, Palembang, Surabaya, dan Yogyakarta. Hanya saja, riset Go-Life tidak menyasar lokasi Balikpapan, Makassar, dan Palembang.
Riset menggunakan metode kuantitatif dengan wawancara tatap muka yang memakai sampling pencuplikan acak sederhana dengan margin error di bawah 3,5 persen. Penelitian berlangsung pada November 2018-Januari 2019.
Untuk Go-Ride, sekitar 75 persen dari total responden berusia 21-40 tahun berpendidikan SMA ke bawah dan vokasi. Sementara Go-Car, sekitar 66 persen dari total responden berusia 21-40 tahun, yang 72 persen di antaranya lulusan sekolah menengah ke bawah. Adapun mitra Go-Clean dan Go-Massage, riset menemukan 91,4 persen responden berusia 21-40 tahun lulusan sekolah menengah ke bawah, 70 persen di antaranya perempuan, dan tulang punggung keluarga.
Alfindra menjelaskan, rata-rata responden pernah bekerja di tempat lain. Ada pula yang menjadikan kemitraan sebagai pekerjaan sampingan. Mereka yang memutuskan menjadikan kemitraan sebagai mata pencarian utama karena alasan ingin memperoleh pendapatan lebih baik.
Wakil Kepala Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi Bisnis UI Paksi CK Walandouw menyebutkan, riset menyebutkan, kontribusi pendapatan mitra ke perekonomian Indonesia mencapai Rp 44,2 triliun. Nilai ini dibagi ke dalam layanan Go-Ride, Go-Car, Go-Food, serta Go-Life yang mencakup Go-Clean dan Go-Massage. Nilai terbesar berasal dari Go-Food, yakni Rp 18 triliun.
”Nilai kontribusi dihitung dari selisih pendapatan mitra sebelum dan sesudah bergabung ke platform Go-Jek,” ujarnya.
Apabila kita berbicara platform digital ekonomi secara makro, isu kritisnya adalah sejauh mana penyedianya dan negara mampu menjamin perlindungan sosial bagi pekerja.
Paksi mengatakan, rata-rata upah minimum kabupaten di sembilan lokasi penelitian adalah Rp 2,9 juta. Nilai pendapatan yang diterima mitra berhasil melebihi angka itu. Sebagai gambaran, upah mitra Go-Ride di Jabodetabek sebesar Rp 4,9 juta dan luar Jabodetabek Rp 3,8 juta.
”Sebesar 90 persen responden mitra yakin platform Go-Jek mampu menyejahterakan diri dan keluarga mereka. Ada isu penyesuaian tarif layanan, tetapi mereka umumnya tetap optimistis mendapat pendapatan bagus asal mau tetap bekerja keras,” katanya.
Menurut Paksi, penelitian serupa pernah dikerjakan Lembaga Demografi Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI tahun 2017. Pada tahun itu, temuan riset juga menunjukkan mitra Go-Jek berlatar belakang pendidikan sekolah menengah atas ke bawah dan bahkan ada sejumlah mahasiswa bergabung.
Dosen Fakultas Ekonomi dan Bisnis UI, Andi Fahmi Lubis, yang hadir pada acara yang sama, berpendapat, meski menyandang status pekerja informal, para mitra mendapat perlakuan bak ”pekerja formal”. Dengan adanya platform digital, seperti aplikasi ride hailing, tenaga kerja informal itu mulai mendapatkan perhatian serius dari negara. Misalnya, urusan pendapatan dan jaminan sosial.
”Apabila kita berbicara platform digital ekonomi secara makro, isu kritisnya adalah sejauh mana penyedianya dan negara mampu menjamin perlindungan sosial bagi pekerja,” ucapnya.
Berdasarkan data ketenagakerjaan Badan Pusat Statistik Agustus 2017 dibandingkan dengan Agustus 2013, jumlah tenaga kerja formal justru turun 0,54 juta, sementara tenaga kerja informal naik 10,76 juta orang.
Pada Februari 2018, penduduk bekerja mencapai 127,07 juta orang. Sebanyak 73,98 juta orang di antaranya bekerja di kegiatan informal.
Misi
Chief Corporate Affairs PT Go-Jek Indonesia Nila Marita, yang dihubungi secara terpisah, mengatakan, hasil riset tersebut sejalan dengan misi Go-Jek sebagai perusahaan teknologi yang ingin menyediakan solusi serta peluang penghasilan kepada masyarakat Indonesia. Hasil penelitian juga dianggap positif untuk menunjukkan konsistensi Go-Jek sebagai aplikasi super dengan sumbangsih nyata ke perekonomian nasional.
Dia mengungkapkan, sebagai perusahaan, Go-Jek berterimakasih kepada semua mitra yang percaya terhadap platform Go-Jek. Kepada konsumen, perusahaan juga menyampaikan pernyataan yang sama.
”Setiap transaksi yang konsumen lakukan dapat membantu mitra meningkatkan penghasilan yang ujungnya memperbaiki tingkat kesejahteraan mereka,” kata Nila. (MED)