Pet! tiba-tiba resor gelap gulita. Paparan yang disampaikan dalam diskusi terhenti. Sesaat kemudian, byar! Terang lagi! Helaan napas peserta diskusi terdengar sebab mati listrik yang terjadi kali itu bukanlah yang pertama.
Sepanjang diskusi yang berlangsung sekitar 2 jam, setidaknya listrik padam lima kali. Jika ditambah dengan listrik padam selama makan malam di halaman tengah resor, pada sore hari, siang hari, dan pagi hari, bisa 10 kali listrik padam dalam sehari.
Apakah alat-alat listrik di resor itu berlebih sehingga daya yang dibutuhkan melebihi kapasitas yang tersedia? Padahal, resor yang diniatkan sebagai tempat tamu bersantai, menjauhi keramaian kota, dan menikmati alam itu tidak menempatkan lemari pendingin di setiap kamar. Televisi juga tidak ada.
Namun, penyejuk ruangan udara masih tersedia di tiap kamar resor yang berlokasi di Pulau Maratua, Kabupaten Berau, Kalimantan Timur itu.
Ternyata, resor itu belum bisa mengakses listrik. Sehari-hari resor menggunakan genset atau generator. Mestinya genset yang berbahan bakar solar itu sebagai cadangan listrik jika aliran listrik putus atau padam. Akan tetapi, ketiadaan jaringan listrik membuat resor itu mesti menggunakan genset sebagai sumber utama listrik.
Okupansi atau tingkat keterisian resor yang memiliki lebih dari 30 kamar itu rata-rata 21 kamar per hari. Setiap kamar yang dihuni tamu tentu harus terjamin ketersediaan listriknya. Apalagi, di tengah kemajuan teknologi informasi dan komunikasi, yang diwarnai eksistensi sebagian masyarakat di media sosial dan keterhubungan dengan dunia luar. Telepon seluler tidak boleh mati akibat kehabisan baterai. Listrik harus tersedia.
Diperlukan puluhan liter solar untuk menjaga genset beroperasi sepanjang hari. Bayangkan, berapa besar biaya operasional yang mesti dikeluarkan resor itu sehari-hari. Jaringan listrik sudah tersedia di Maratua, tetapi belum semua wilayah terakses.
Produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim pada akhir 2018 sebesar Rp 638,12 triliun. PDRB Kaltim menopang 51,93 persen perekonomian Kalimantan.
Pulau Maratua adalah salah satu dari empat pulau yang populer sebagai destinasi wisata di Kabupaten Berau. Tiga pulau lainnya adalah Sangalaki, Kakaban, dan Derawan.
Kendati saat ini belum terlalu besar, sumbangan dari sektor pariwisata Kabupaten Berau untuk pendapatan asli daerah akan terus ditingkatkan. Berdasarkan data Badan Pusat Statistik (BPS) Provinsi Kaltim, produk domestik regional bruto (PDRB) Kaltim pada akhir 2018 sebesar Rp 638,12 triliun. PDRB Kaltim menopang 51,93 persen perekonomian Kalimantan.
Hampir 50 persen atau sekitar 46 persen PDRB Kaltim disumbang kegiatan usaha pertambangan dan penggalian. Sementara kegiatan usaha penyedia akomodasi serta makanan dan minuman, sebagian bagian dari kegiatan sektor pariwisata, hanya menyumbang 0,9 persen dari PDRB.
Di tengah harga komoditas yang rentan terhadap kondisi perekonomian global, sektor pariwisata bisa diupayakan sebagai penyumbang pendapatan daerah. Kabupaten ini memiliki kekayaan wisata yang bisa menjaring wisatawan. Destinasi wisata khusus, antara lain menyelam, ada di sekitar empat pulau ini.
Bagi yang tak suka menyelam bisa menikmati pasir pantai yang putih atau berjemur di bawah sinar matahari khatulistiwa. Di laman wisata yang memberikan ulasan dan rekomendasi tentang destinasi wisata dunia, tujuan wisata di Berau dipuji karena memiliki keindahan yang unik.
Berdasarkan data BPS Kaltim, sebanyak 2.658 wisatawan mancanegara berkunjung ke Kaltim pada 2018. Tiga negara asal wisatawan mancanegara yang dominan adalah Singapura (37 persen), Australia (24 persen), dan India (14 persen). Jumlah wisman ini masih sangat kecil dibandingkan dengan total wisman yang berkunjung ke Indonesia pada 2018, yang sebanyak 15,81 juta kunjungan.
Perlu kerja keras untuk mewujudkan hasrat mendorong pariwisata Kaltim. Salah satunya, ketersediaan infrastruktur yang meningkatkan akses wisman ke tujuan wisata di provinsi itu, khususnya di Kabupaten Berau. Yang tak kalah penting, menyediakan kebutuhan wisatawan selama berada di daerah itu. (Dewi Indriastuti)